Pemerintah Kabupaten Tulungagung dan jajaran forkopimda sepakat untuk melakukan pembatasan operasional sound horeg. Jam operasional hingga volume suara menjadi perhatian utama.
Wakil Bupati Tulungagung Ahmad Baharudin, mengatakan kebijakan pembatasan sound hireg dibahas melakukan rapat kordinasi dengan 16 elemen di Pendapa Kongas Arum Kusumaning Bangsa, Kamis (24/7/2025).
"Kita harus menyikapi, menindaklanjuti fatwa (MUI Jatim) tersebut untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat Kabupaten Tulungagung," kata Ahmad Baharuddin.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurutnya sebelum sound horeg menjadi polemik di masyarakat, pemerintah daerah telah melakukan antisipasi dengan mengeluarkan Surat Edaran (SE) Bupati Tulungagung tertanggal 2 Agustus 2024. Dalam SE itu terdapat sejumlah aturan mengenai penggunaan pengeras suara.
Seiring perkembangan, pemerintah sepakat untuk melakukan revisi aturan melalui rapat kordinasi dengan lintas sektoral.
Sementara itu Kapolres Tulungagung AKBP Mohammad Taat Resdi, menjelaskan dalam rakor tersebut disepakati sejumlah kebijakan yang mengatur penggunaan sound system di masyarakat, mulai karnaval hingga konser.
Untuk kegiatan statis seperti konser, pengajian, atau pertunjukan lainnya, batas maksimal yang diperbolehkan 125 desibel dan daya maksimal 80.000 watt. Batas maksimal tersebut dinilai cukup untuk keperluan konser dan pertunjukan statis lainnya.
"Untuk kegiatan mobile atau pawai batas maksimal 80 desibel, daya maksimal 10.000 watt, serta penggunaan maksimal 8 subwoofer per kendaraan. Dalam SE sebelumnya hanya 60 desibel, itu sulit dilaksanakan," kata AKBP Taat.
Selain itu penggunaan sound system pada truk atau pikap keliling tidak boleh melebihi dimensi kendaraan pengangkut, baik dari sisi tinggi, lebar, maupun panjangnya.
"Jalur pawai pun harus mendapat persetujuan masyarakat setempat dan diketahui lurah atau kepala desa," ujarnya.
Sedangkan waktu pemanfaatan pengeras suara dibatasi maksimal pukul 24.00 WIB, kecuali untuk pertunjukan wayang kulit yang diizinkan hingga pukul 04.00 WIB.
"Karena kalau wayang kulit memang semalam suntuk. Semua ini untuk menjaga keseimbangan antara kebebasan berekspresi dan ketertiban umum," ujarnya.
Taat menambahkan isi suara yang diperdengarkan tidak boleh melanggar norma dan etika. Tidak boleh ada unsur SARA, pornoaksi, maupun ujaran kebencian.
"Apabila penyelenggara kegiatan tidak mematuhi ketentuan ini, maka Polres Tulungagung bersama Satpol PP dan aparat penegak hukum lainnya berhak membubarkan acara dan menindak sesuai ketentuan perundang-undangan," imbuhnya.
Selain kesepakatan dalam rakor, masyarakat juga terikat dengan berbagai aturan lain yang menyangkut ketertiban umum.
Pihaknya berharap seluruh masyarakat dan panitia penyelenggara kegiatan dapat melaksanakan dengan baik ketentuan terkait penggunaan pengeras suara tersebut, sehingga kegiatan tatap bisa berlangsung tanpa harus mengganggu masyarakat lainnya.
(auh/abq)