Kata Pakar Pendidikan Soal Siswa di Blitar Dikeroyok Saat MPLS

Kata Pakar Pendidikan Soal Siswa di Blitar Dikeroyok Saat MPLS

Esti Widiyana - detikJatim
Kamis, 24 Jul 2025 20:45 WIB
Siswa di Blitar dikeroyok saat MPLS
Siswa di Blitar dikeroyok saat MPLS (Foto: Tangkapan layar)
Surabaya -

Kasus dugaan pengeroyokan yang menimpa seorang siswa SMP di Kecamatan Doko, Kabupaten Blitar, saat kegiatan Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah (MPLS) berbuntut panjang. Insiden pada Jumat (18/7) itu viral di media sosial dan kini tengah ditangani oleh Polres Blitar setelah keluarga korban melapor.

Pakar pendidikan Universitas Muhammadiyah (UM) Surabaya, Sri Lestari menilai, insiden tersebut merupakan bentuk nyata kegagalan sistem pengawasan sekolah dalam menjamin keamanan siswa.

"Kasus ini menandakan tidak adanya mekanisme pencegahan yang matang sejak awal MPLS dirancang. Sekolah seharusnya mampu memetakan potensi adanya perundungan lebih dini. Pencegahan seharusnya menjadi langkah awal, bahkan sejak hari pertama MPLS," kata Tari pada Kamis (24/7/2025).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Ia menjelaskan, perundungan ialah persoalan kompleks yang harus ditangani secara menyeluruh, baik sebelum, saat, dan setelah kejadian. Menurutnya, pada konteks MPLS, sekolah perlu memiliki standar pelaksanaan yang jelas dan tertulis, termasuk aturan tegas mengenai apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan.

ADVERTISEMENT

"Sosialisasi menyeluruh kepada seluruh elemen sekolah sangat penting. Jika perlu, diberlakukan sanksi tegas bagi siapa pun yang melanggar aturan pelaksanaan MPLS," ujarnya.

Menurutnya, proses mediasi tidak boleh menjadi akhir dari penanganan kasus. Mediasi harus diimbangi dengan langkah rehabilitatif dan edukatif bagi pelaku, agar mendapat efek jera dan nilai moral dapat terbentuk.

"Tidak boleh hanya selesai dengan permintaan maaf atau kesepakatan damai," tegasnya.

Tari juga menyoroti pentingnya pendampingan untuk korban dan pelaku, baik secara psikologis maupun hukum. Mengingat pelaku masih di bawah umur, penanganan harus mengacu pada Undang-Undang Perlindungan Anak.

"Jangan normalkan perspektif 'namanya juga anak-anak'. Justru karena masih anak-anak, pendampingan harus maksimal agar proses tumbuh kembang mereka tidak terdistorsi oleh pengalaman buruk," jelasnya.

Baginya, kejadian tersebut menjadi tamparan keras, baik sekolah, Dinas Pendidikan dan sistem pendidikan nasional secara keseluruhan. Insiden tersebut mencerminkan bahwa nilai-nilai pendidikan anti-kekerasan belum benar-benar tertanam dalam budaya sekolah.

Solusi jangka panjang, Tari mendorong revisi menyeluruh terhadap format MPLS secara nasional dan pembentukan mekanisme pelaporan kasus kekerasan di sekolah yang aman, ramah anak, dan menjaga kerahasiaan identitas pelapor.

"MPLS seharusnya menjadi masa adaptasi yang menyenangkan dan membangun semangat siswa, bukan menjadi ajang kekerasan yang merusak psikis anak sejak awal mereka masuk ke dunia sekolah baru," pungkasnya.




(auh/hil)


Hide Ads