Pakar Soroti Aturan Jam Malam, Sebut Kekerasan Anak Bisa Terjadi di Rumah

Pakar Soroti Aturan Jam Malam, Sebut Kekerasan Anak Bisa Terjadi di Rumah

Esti Widiyana - detikJatim
Senin, 30 Jun 2025 22:00 WIB
Ilustrasi jam malam.
Ilustrasi jam malam (Foto: Ilustrasi menggunakan Gemini AI)
Surabaya -

Pemkot Surabaya akan menerapkan jam malam kepada anak belum berusia 18 tahun untuk tidak keluyuran di atas jam 22.00 WIB pada Juli 2025. Tujuannya untuk memastikan tumbuh kembang anak secara optimal serta mengantisipasi potensi kenakalan remaja.

Pengamat pendidikan dari Universitas Muhammadiyah (UM) Surabaya Holy Ichda Wahyuni memberikan catatan kritis dari kalangan akademisi. Sebelum memberi catatan, ia mengapresiasi upaya preventif tersebut.

Menurutnya, meski kebijakan ini dilatarbelakangi niat baik sebagai upaya preventif, namun masih ada sejumlah aspek yang perlu ditinjau lebih dalam. Khususnya dari sudut pandang pendidikan.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Secara sosial kita bisa memahami niat baik dari regulasi ini, di tengah banyaknya fenomena kenakalan remaja dan kriminalitas anak. Namun, jika pendekatannya sekadar menanamkan larangan dan pembatasan, tanpa adanya pendekatan yang sifatnya edukatif dan ruang dialog kultural berbasis kesadaran, maka ini berisiko menjadi instrumen represif, bukan transformatif," kata dosen PGSD UM Surabaya itu, Senin (30/6/2025).

Baginya, pendidikan karakter berkelanjutan lahir dari otonomi dan kesadaran, artinya bukan paksaan. Lalu pentingnya menciptakan kultur kesadaran bersama, bukan ketakutan.

ADVERTISEMENT

Meski memiliki niat baik dalam membuat kebijakan, menurutnya kasus kekerasan terhadap anak justru dapat terjadi di lingkungan rumah.

"Larangan jam malam saja tidak cukup. Apakah ini solusi substansial atau sekadar respons permukaan? Apalagi kita tahu, pelanggaran dan kekerasan terhadap anak bisa saja terjadi di dalam rumah, oleh orang terdekat," jelasnya.

Ia pun menekankan pentingnya pembangunan ekosistem sosial lebih inklusif dan ramah anak. Pemkot Surabaya dapat fokus menyediakan ruang aman untuk kegiatan malam, transportasi publik ramah anak, serta sistem perlindungan bagi keluarga rentan.

"Lagipula, masyarakat kita plural. Tidak semua keluarga punya ritme hidup yang sama. Sehingga akan sulit jika diberlakukan pendekatan one size fits all," ujar Holy.

Pada perspektif pendidikan, lanjut Holy, anak harus dilibatkan sebagai subjek aktif, bukan hanya objek yang dikontrol. Pemahaman terhadap aturan harus dibangun melalui dialog dan partisipasi, bukan sekadar larangan.

"Anak seyoganya tidak hanya diajari untuk patuh, tetapi juga diajak memahami mengapa aturan itu penting. Itulah esensi dari pendidikan sejati," pungkasnya.




(auh/abq)


Hide Ads