Drama penahanan dokumen penting itu terkuak setelah penyidik Ditreskrimum Polda Jatim menemukan 108 ijazah yang disembunyikan di rumah pribadinya.
Kisah bermula sejak April 2025, ketika kasus ini diviralkan oleh Wakil Wali Kota Surabaya, Armuji. Saat itu, Diana dengan lantang membantah tudingan penahanan ijazah. Bahkan ketika Wakil Menteri Ketenagakerjaan, Immanuel Ebenezer, melakukan inspeksi mendadak ke gudang perusahaannya, Diana tetap bergeming.
Armuji pun sempat mencoba meredakan persoalan ini dengan cara damai. Diana bersama suaminya mendatangi rumah dinas Armuji dan menyampaikan permintaan maaf. Namun, saat diminta mengembalikan ijazah para eks karyawan, Diana tetap menolak mengaku telah menahan.
"Masalah ijazah balekno, supoyo ga dowo-dowo ulo (panjang urusan) wong Jowo ngunu. Tetep bilang nggak menahan ijazah, kalau sudah seperti itu urusannya bukan di pemerintah kota, karena Pak Wali Kota melaporkan penahanan ijazah ke kepolisian dalam hal ini Polres Tanjung Perak dan Polda Jatim. 'Endak, saya nggak nahan ijazah' (kata Diana yang ditirukan Armuji). Yo wes saya nggak maksa, itu bukan urusan saya, itu sudah ranah hukum. Makanya saya tidak memperpanjang omongan saya waktu mereka ke sini," ungkap Armuji di rumah dinasnya, Selasa (27/5/2025).
Namun, bantahan itu tak bertahan lama. Penggeledahan yang dilakukan Polda Jatim membongkar kenyataan. Di gudang dan rumah Diana ditemukan tumpukan ijazah para eks karyawan yang selama ini disangkal keberadaannya. Armuji pun tak habis pikir, apa manfaat menahan ijazah, apalagi barang tersebut tak bisa dijual.
"Ternyata benar waktu digeledah di rumahnya ada ijazahnya. Lah lapo seh nahan ijazah. Iku loh ijazah nggak isok didol, nggak bisa dijual, gunane opo? Mosok sogehne sakmunu golek balek rong juta, kan nggak sumbut. Yo nggak? (Lah ngapain sih menahan ijazah. Itu loh ijazah nggak bisa dijual, gunanya apa? Masak sekaya itu mencari uang dua juta kan nggak sepadan, ya nggak?)" ucap Armuji dengan nada geram.
Ternyata, penahanan ijazah bukan tanpa motif. Para eks karyawan yang mengundurkan diri dihadapkan dua pilihan: membayar Rp 2 juta atau ijazahnya ditahan.
"Kalau ijazah suruh nebus Rp 2 juta kalau dia resign kan nggak sumbut, sogehe, gudange sakmunu gedene. Iku duek ecek-ecek rong ewu (Kalau ijazah suruh nebus Rp 2 juta kalau dia resign kan nggak sepadan dengan kekayaannya, gudangnya sebesar itu. Itu uang ecek-ecek dua juta)," kata Armuji.
Atas tindakannya, Polda Jatim menetapkan Jan Hwa Diana sebagai tersangka. Status tersebut disematkan setelah penyidik memeriksa 23 saksi dan menemukan 108 ijazah lengkap dengan surat serah terima. Diana dijerat Pasal 372 KUHP tentang penggelapan, dengan ancaman pidana penjara maksimal 4 tahun atau denda Rp 900 ribu.
Namun, drama Diana tak berhenti di Surabaya saja. Armuji mengungkapkan bahwa Diana juga memiliki masalah serupa di Kota Batu. Di sana, Diana sempat berseteru dengan tetangganya karena aktivitas pembangunan rumah yang dilakukan pada malam hari.
"Bukan cuma itu saja, orang yang cerita ke saya, di Batu dia juga punya masalah ternyata. Gawendeng, gendeng, gendeng, ya opo iki (Gila, gila, gila, gimana ini)," ujar Armuji di rumah dinasnya.
Saat tetangganya menegur karena terganggu, Diana justru melaporkan balik ke polisi.
"Di Batu dia punya masalah. Jadi di Batu dia bangun rumah, dikerjakan malam hari, ditegur tonggone (tetangganya), tonggone malah dilaporno polisi. Nggak gawendeng a? Gendeng, gendeng (Nggak gila kah? Gila, gila)," tambahnya.
Meski demikian, Armuji berharap kasus Diana menjadi pelajaran bagi semua pihak agar tidak bersikap arogan terhadap orang lain, terlebih terhadap para pekerja.
"Tapi itu sebagai pembelajaran bagi orang-orang seperti Diana dan lain-lain, jangan arogan seperti itu," tutupnya.
Kini, kasus penahanan ijazah CV Sentoso Seal menjadi contoh nyata bahwa keserakahan dan keangkuhan hanya akan berujung petaka. Sebuah pesan moral yang lahir dari lembaran ijazah yang seharusnya menjadi hak karyawan, bukan alat tawar-menawar.
(auh/hil)