Kritik Menohok Pengamat soal Pengawasan Pemerintah di Kasus Penahanan Ijazah

Kritik Menohok Pengamat soal Pengawasan Pemerintah di Kasus Penahanan Ijazah

Esti Widiyana - detikJatim
Minggu, 20 Apr 2025 13:35 WIB
Ilustrasi Hari Buruh
ILUSTRASI PEKERJA (Foto: Ilustrasi/Kiagoos Auliansyah)
Surabaya -

Sosiolog Masyarakat Agraris dan Kebijakan publik dari Universitas Negeri Surabaya (Unesa) Khalid Syaifullah menyoroti pengawasan pemerintah pada penahanan ijazah karyawan, apalagi kini tengah menjadi polemik. Ia juga menyoroti praktik eksploitasi yang dilakukan perusahaan.

"Sebetulnya ini problemnya adalah problem antara problem hubungan industrial, yang saya kira masih stagnan sejak zaman Orde Baru itu tidak pernah di-update, tidak pernah diperbarui, sehingga terjadi hal-hal begini," kata Khalid saat dihubungi detikJatim, Minggu (19/4/2025).

Ia menyebut, penahanan ijazah tidak pernah diatur dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan. Sampai saat ini urusan ijazah sebagai jaminan, hanya berdasarkan kontrak antara perusahaan dengan pegawai.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Banyak yang bilang kalau kedua belah pihak itu sama-sama sepakat, maka penahanan ijazah sebagai jaminan itu ya diperbolehkan secara hukum gitu," ujarnya.

Secara sosiologis, lanjut Khalid, terdapat hubungan yang simpang antara perusahaan sebagai pemberi kerja dengan karyawan yang membutuhkan kerja. Apalagi saat-saat seperti ini, di mana banyak orang susah, pekerjaan susah, banyak PHK, sehingga pekerja terpaksa menerima aturan semacam itu karena tidak banyak pilihan.

ADVERTISEMENT

"Mereka butuh pekerjaan, sehingga jaminan penahanan ijazah itu kadang-kadang mereka terima secara terpaksa. Tugasnya pemda selama ini dalam kerangka hubungan industrial sejak zaman Orde Baru itu sebetulnya hanya sebagai media ketika terjadi sengketa, ya melalui perundingan bipartit atau tripartit," jelasnya.

Menurutnya, kasus penahanan ijazah tidak hanya di Surabaya atau Jawa Timur, tetapi di banyak tempat yang seringkali berat sebelah. Ia menilai hal ini biasanya memenangkan pihak perusahaan, namun baru terungkap saat ini.

"Tapi sebetulnya, peristiwanya, fenomenanya sudah ada sejak lama dan tidak masuk berita, baru kemarin saja sejak wakil wali kota (Armuji) melakukan sidak. Sebetulnya praktik-praktik semacam itu karena tidak ada payung hukumnya, jadi memang samar-samar, antara boleh dan tidak. Boleh, sejauh memang disepakati antara perusahaan dan karyawan. Tidak boleh ketika salah satu pihak memaksa," urainya.

"Tetapi, tidak ada UU yang jelas yang mengatur itu. Dan, seringkali wilayah hukum yang samar, abu-abu seperti itulah yang biasanya dipertahankan, baik oleh perusahaan maupun pemda. Sehingga dengan wilayah hukum yang abu-abu, yang samar, yang tidak pasti seperti itu, pihak perusahaan akan dengan fleksibel "berlaku sewenang-wenang" terhadap karyawan, seperti menahan ijazah dan lain sebagainya," tambah Khalid.

Khalid menjelaskan, secara sosiologis, menahan ijazah dilakukan perusahaan untuk melemahkan bargaining politik karyawan, sehingga karyawan tidak berani protes. Akhirnya karyawan harus tunduk ketika menerima perintah yang sebetulnya di dalam kontrak tidak ada. Tetapi karena ijazah ditahan, maka mau tidak mau, mereka harus nurut.

"Peran pemda sejauh ini hanya sebagai mediator, sebagai pengawas, seringkali di wilayah abu-abu seperti ini justru mereka biasanya kongkalikong dengan perusahaan, supaya praktik ini tetap berjalan, tetapi mereka enggak kena persoalan hukum. Jadi, potensi untuk dimanfaatkan demi kepentingan tertentu itu sangat-sangat besar sekali," ujarnya.

Apakah harus ada jaminan untuk karyawan ke perusahaan? Baginya, kontrak kerja tidak harus menggunakan ijazah sebagai jaminan agar tidak berhenti di tengah jalan. Karena ijazah merupakan modal utama pekerja mencari kerja. Apalagi di Indonesia, ijazah menjadi nomor satu persyaratan yang selalu disebut-sebut setiap rekrutmen.

"Saya kira perusahaan tidak perlu sampai menahan ijazah, karena itu modal utamanya. Tapi ya itu, baik lagi ya, karena secara sosiologis justru ijazah ditahan memang untuk lagi-lagi, untuk menjinakkan para buruh supaya perusahaan bisa "sewenang-wenang" untuk mempekerjakan mereka," katanya.

Ketika ijazah ditahan, pekerja tidak berani macam-macam dan tunduk pada perusahaan. Hal ini bisa menjadi celah untuk mengeksploitasi karyawan.

"Sehingga seringkali eksploitasi itu terjadi secara besar, karena memang posisi daya tawar buruh lemah. Mereka tidak berani melakukan protes, misalnya, ketika beban kerjanya berlebih atau waktu kerjanya berlebih, karena memang ijazahnya ditahan. Modal utama mereka untuk cari kerja ditahan," ujarnya.

Dampak yang dapat dirasakan karyawan ketika ijazah ditahan ialah kehilangan modal untuk mengakses kesempatan bekerja. Partisipasi kerja mereka masih terhambat dengan ijazah yang ditahan.

"Tetapi kita tahu, kondisi pekerjaan di sektor informal itu justru tingkat eksploitasinya lebih gila lagi, karena tidak ada jaminan kerja sama sekali, tidak ada kepastian upah, tidak ada kepastian tentang jam dan beban kerja, bahkan hari libur itu hanya disepakati secara verbal oleh majikan dan pemberi kerja, dan buruh.

Dan, seringkali hal-hal itu dilanggar. Namun, ketika dilanggar, biasanya pekerja informal hanya pasrah saja, karena memang enggak ada payung hukumnya. Lebih rentan mereka. (Jika ijazah ditahan) Pekerja bisa dieksploitasi secara sewenang-wenang oleh para pemberi kerja ketika mereka bekerja," bebernya.




(irb/fat)

Koleksi Pilihan

Kumpulan artikel pilihan oleh redaksi detikjatim


Hide Ads