Cerita Chusnul Penyintas Bom Bali: Anak Sakit Kronis, Utang Tak Dibayar

Aprilia Devi - detikJatim
Rabu, 08 Jan 2025 14:30 WIB
Chusnul Chotimah, penyintas Bom Bali I yang berupaya menagih utang demi pengobatan anaknya (Foto: Aprilia Devi/detikJatim)
Sidoarjo -

Bertahan hidup sebagai penyintas tindak pidana terorisme tidak mudah. Chusnul Chotimah (54), penyintas Bom Bali I yang melanjutkan hidup sebagai ibu 3 anak yang tinggal di rumah kontrakan di Sidoarjo merasakan itu.

Sejak kejadian Bom Bali I pada 12 Oktober 2002 silam, Chusnul mengalami luka bakar 60% hampir di sekujur tubuhnya. Ditambah sejumlah serpihan logam yang masih melekat di tubuhnya hingga syarafnya terganggu.

Selain menyisakan sakit yang tak akan pernah hilang, Bom Bali I juga mengubah kondisi perekonomian Chusnul dan keluarganya hingga begitu memprihatinkan.

Setelah kembali ke Sidoarjo, suaminya yang putus asa tergiur menjadi kurir narkoba demi membiayai sekolah anak-anaknya. Ujungnya pahit, satu insiden membuat suaminya ditembak mati pada 2017.

Meski terpuruk, Chusnul tetap melanjutkan hidup. Kini dialah yang menjadi kepala rumah tangga. Demi memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, dia berdagang sayur sambil bekerja serabutan.

"Jangan ditanya (Keadaan pascatragedi bom). Kondisi hancur-hancuran. Sekarang jualan sayur, sembako. Setiap hari jam 2 malam cari dagangan. Subuh dibuka," ujar Chusnul dijumpai detikJatim di rumah kontrakannya di Sidoarjo, Rabu (8/1/2025).

Kiriman TikTok Chusnul Chotimah, Penyintas Bom Bali I saat menagih utang hingga ke Purwakarta demi obati anaknya. (Foto: tangkapan layar)

Jika dihitung, rata-rata penghasilannya dari berdagang maupun bekerja serabutan hanya Rp 100 ribu sampai Rp 150 ribu per hari atau sekitar Rp 4 juta per bulan. Itu pun kalau ramai pembeli.

"(Kerja serabutan) bersih-bersih saya mau, ada pesanan katering juga mau, saya ambil semua pekerjaan selagi bisa," kata Chusnul.

Cobaan hidupnya bertambah pada 23 November 2022 saat anak bungsunya, MF (18) didiagnosis penyakit kronis Von Willebrand yang membuat darahnya sulit membeku bila mengalami pendarahan. Penyakit ini divonis tak bisa sembuh.

Chusnul menyebut anaknya memang sakit-sakitan sejak lama, salah satunya kerap mimisan. Ia telah membawanya berobat ke berbagai tempat hingga menelan biaya jutaan rupiah.

Demi membiayai pengobatan anaknya sejumlah barang miliknya seperti 3 unit motor habis dijual demi membiayai satu-satunya harapan pengobatan untuk anaknya, yakni kemoterapi.

Sekali kemoterapi biayanya cukup fantastis, Chusnul menyebut itu mencapai kurang lebih Rp 14 juta. Jadwalnya, 13 Januari 2025 besok anaknya akan menjalani kemoterapi ketiga.

"Jika pendarahan, anak saya butuh 2 botol obat injeksi infus. Harga asli obat injeksi anak saya Rp 14.400.000 per 2 botol," tuturnya.

Chusnul pun pontang-panting mencari bantuan dari berbagai pihak. Mulai dari pengajuan khusus ke BPJS karena obat yang diperlukan anaknya tidak masuk subsidi pemerintah. Dia juga mencari bantuan dari sejumlah yayasan termasuk dari BNPT.

Tagih utang tapi selalu diberi janji. Baca halaman selanjutnya.




(dpe/fat)

Berita Terkait
Berita detikcom Lainnya
Berita Terpopuler

Video

Foto

detikNetwork