Sempat Ingin Disuntik Mati, Chusnul Penyintas Bom Bali I Kini Jual Ginjal

Sempat Ingin Disuntik Mati, Chusnul Penyintas Bom Bali I Kini Jual Ginjal

Aprilia Devi - detikJatim
Jumat, 07 Feb 2025 16:15 WIB
Chusnul Penyintas Bom Bali I yang berjuang demi pengobatan anaknya kini nekat hendak jual ginjalnya.
Chusnul Penyintas Bom Bali I yang berjuang demi pengobatan anaknya kini nekat jual ginjal (Foto: tangkapan layar)
Sidoarjo -

Chusnul Chotimah, penyintas bom Bali I masih harus berjuang untuk pengobatan anaknya MF (18) yang menderita penyakit kronis von Willebrand. Setelah sempat ingin disuntik mati saja bersama anaknya, kini dia jual ginjalnya.

Korban Bom Bali I yang sempat mengalami luka bakar hingga 70% itu memutuskan menjual ginjalnya dengan menawarkannya melalui aplikasi Facebook. Dia unggah foto dirinya dan putranya lalu dia beri keterangan.

"Assalamualaikum Wr Wb, perkenalkan saya salah satu korban bom Bali 1 (12 Oktober 2002) yang mengalami luka bakar 70 persen, untuk organ tubuh lainnya masih sehat. Terutama 'Ginjal' saya masih sehat dan saya berniat menjual ginja saya untuk keperluan berobat anak saya yang obatnya tidak dicover BPJS. Anak saya mengalami sakit Van willebrand's disease. Jika ada teman atau saudara anda butuh ginjal bisa hubungi saya. Terima kasih atas bantuannya," tulis Chusnul dalam laman Facebooknya dilihat detikJatim, Jumat (7/2/2025).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Chusnul menceritakan keinginan menjual ginjal ini karena dirinya sudah tidak punya aset apapun lagi untuk dijual demi biaya pengobatan anaknya yang dia perkirakan mencapai puluhan juta rupiah.

"Saya nggak mematok nominal berapa untuk ginjal ini, asalkan biaya pengobatan anak saya bisa ditanggung sepenuhnya. Ya semacam barter begitu mungkin," ujar Chusnul.

ADVERTISEMENT

Sebelumnya sudah ada sejumlah yayasan yang berupaya mengumpulkan dana untuk pengobatan MF (18), tapi jumlahnya jauh dari kebutuhannya. Chusnul tidak ingin bergantung dari para donatur.

"Memang ada yang mau bantu, tapi belum mencukupi juga. Kan gak mungkin juga saya bergantung ke donatur," katanya.

Chusnul mengungkapkan bahwa dirinya tidak takut terhadap resiko kesehatan yang mungkin akan dia alami jika ginjalnya benar-benar akan dijual. Dia bahkan sempat hendak meminta pemerintah menyuntik mati dirinya dan putranya.

"Saya sudah ndak takut apa-apa lagi. Kemarin saya kepikiran jual ginjal ini setelah salat malam. Sudah, saya nekat, mungkin aset tubuh saya yang masih sehat ini bisa menyembuhkan anak saya," katanya.

Chusnul mungkin tidak akan mengambil langkah nekat ini bila uang kompensasi senilai Rp 77,5 juta yang dia terima dari LPSK, yang dipinjam temannya berinisial VN (54), sudah dikembalikan.

Dia sudah menempuh berbagai cara menagih uang itu dari VN. Bahkan dia sempat mengajak putra bungsunya perjalanan naik motor dari Sidoarjo ke Purwakarta, Jawa Barat demi mengetuk hati temannya. Tapi upayanya sia-sia.

"Teman saya itu sudah tidak bisa diharapkan (untuk membayar utang). Saya malah dikatain nyari sensasi," tutur Chusnul.

Hingga saat ini anak Chusnul, MF (18) belum bisa melakukan kemoterapi sebab dananya belum terkumpul. BPJS Kesehatan tidak bisa mengkaver biaya kemo itu karena ada syarat yang belum terpenuhi.

"Kalau BPJS syaratnya harus ada tes darah dengan alat khusus yang ternyata tidak ada di Indonesia. Adanya di Belanda. Lah saya ini orang miskin bagaimana bisa memenuhi itu?" Kata Chusnul pasrah.

Sebelumnya dari hasil pemeriksaan dokter, anak terakhir Chusnul perlu biaya Rp 14 juta untuk sekali kemoterapi penyakit kronisnya. Pengobatan itu sangat diperlukan terutama jika sewaktu-waktu terjadi pendarahan.

Sekadar informasi, para penderita von Willebrand yang sulit disembuhkan mengalami kesulitan untuk pembekuan darah. Ini akan menjadi masalah bagi mereka ketika mengalami luka atau perdarahan.




(dpe/fat)


Hide Ads