Tanggapan Rektor Unair Soal Rektor UII yang Enggan Dipanggil Profesor

Tanggapan Rektor Unair Soal Rektor UII yang Enggan Dipanggil Profesor

Esti Widiyana - detikJatim
Minggu, 21 Jul 2024 15:00 WIB
Rektor Unair Prof Mohammad Nasih usai kick off launching logo, maskot dan theme song PIMNAS-37 di Kampus C.
Rektor Unair Prof M Nasih (Foto: Esti Widiyana/detikJatim)
Surabaya -

Rektor UII Fathul Wahid menolak gelar profesor. Ia juga menolak untuk dipanggil profesor. Hal ini menjadi sorotan hingga Rektor Unair Prof M Nasih turut angkat bicara.

"Posisi atau jabatan profesor menjadi sorotan banyak pihak. Salah satunya berkaitan upaya untuk desakralisasi gelar profesor," kata Prof Nasih saat ditemui detikJatim di Unair Kampus C, Minggu (21/7/2024).

Menurut Nasih, gelar profesor adalah sakral dan tetap harus dijaga. Maka, dengan satu pernyataan, tidak bisa merusak martabat semua tokoh.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Menurut saya, di mana-mana profesor tetap harus dijaga kesakralannya, profesor harus tetap dijaga martabatnya. Kalau ada satu dua nila, jangan sampai merusak susu sebelanga. Bagi kami menjaga integritas, menjaga martabat, kemuliaan profesor, menurut saya harus tetap dilakukan. Salah satunya tentu saja dengan tidak melakukan desakralisasi," jelas Gubes FEB Unair ini.

Baginya, seorang profesor harus tetap bijak pada saat menggunakan gelarnya. Salah satunya, jabatan tidak diperlukan saat menyelesaikan urusan administratif.

ADVERTISEMENT

"Bisa memosisikan diri secara proporsional, kapan profesor itu dipakai. Unair sudah lama kita minta, kalau berurusan dengan administratif enggak usah pakai gelar macam-macam, profesor dan lain-lain," ujarnya.

Sedangkan gelar profesor yang sudah didapatkan, bisa digunakan untuk keperluan akademik. Seperti mengajar, prosesi wisuda, serta pengukuhan guru besar.

"Sehingga sekali lagi bagi kami, menempatkan secara proporsional kapan profesor, kapan apa itu, menjadi hal yang sangat penting," katanya.

Prof Nasih menyebut, tidak perlu melakukan desakralisasi, karena menganggap profesor memang posisi yang sangat sakral. Hal yang perlu dilakukan justru sakralisasi, sehingga tidak semua orang bisa dalam posisi untuk mencapai itu.

"Salah satunya, saringannya harus lebih kuat lagi, jangan sampai ada yang kelolosan dan seterusnya, yang belum waktunya itu sampai di jabatan itu. Itu upaya kita justru untuk menjaga agar profesor tetap sakral, mulia, tetap dalam posisi terhormat di akademik, jabatan tertinggi di akademik itu profesor, itu yang harus kita mulaikan bersama," urainya.

Dilansir dari detikJogja, Fathul merasa gelar profesor yang diraih akademisi tak perlu dianggap 'sakral'. Baginya, profesor dikenal sebagai amanah atau tanggung jawab publik.

"Saya ingin ikhtiar kecil ini sebagai upaya mendesakralisasi profesor. Profesor tidak lagi dianggap sebagai status sosial yang luar biasa gitu. Pencapaiannya merupakan dampak karena menyelesaikan pekerjaan rumah," kata Fathul.

Fathul juga meminta gelar akademiknya tak perlu ditulis dalam dokumen resmi kampus. Hal itu tertuang dalam SE No: 2748/Rek/10/SP/VII/2024 berisi 'Dalam rangka menguatkan atmosfer kolegial dalam tata kelola perguruan tinggi, bersama ini disampaikan bahwa seluruh korespondensi surat, dokumen, dan produk hukum selain ijazah, transkrip nilai, dan yang setara itu dengan penanda tangan Rektor yang selama ini tertulis gelar lengkap 'Prof. Fathul Wahid, S.T., M.Sc., Ph.D.' agar dituliskan tanpa gelar menjadi 'Fathul Wahid'. Demikian pemberitahuan ini disampaikan, atas perhatian Ibu Bapak kami mengucapkan terima kasih'.




(hil/iwd)


Hide Ads