Menteri Pendidikan Tinggi, Sains dan Teknologi (Mendiktisaintek) Satryo Soemantri Brodjonegoro hari ini didemo oleh Aparatur Sipil Negara (ASN) Kemendiktisaintek. Menteri Satryo diduga berhentikan ASN secara sepihak. Ini profil Menteri Satryo, yang mengaku jengah dipanggil "Profesor".
Professor Satryo Soemantri Brodjonegoro lahir di Delft, Belanda pada 5 Januari 1956. Dedikasinya menjadi staf pengajar di Teknik Mesin ITB tidak tanggung-tanggung, berlangsung selama 30-an tahun.
Karier akademisnya dimulai dari selulus Teknik Mesin ITB dengan mengajar di almamaternya sejak tahun 1980 hingga terpilih menjadi Ketua Jurusan Teknik Mesin ITB tahun 1992. Kemudian menjadi Wakil Dekan Bidang Akademik Fakultas Teknik Mesin pada 1995-1998.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dari kampus kemudian Menteri Satryo ditarik menjadi Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi, Kementerian Pendidikan Nasional, Indonesia periode 1999-2007.
Saat menjabat Dirken Dikti, dia dikenal sebagai salah satu pembaharu dunia pendidikan, peletak konsep Badan Hukum Milik Negara (BHMN) yang setelah era 2000 dikenal dengan Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum (PTN BH), demikian dilansir dari situs Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI).
Ia memperoleh gelar PhD di bidang Teknik Mesin dari University of California di Berkeley pada 1985.Bidang penelitiannya meliputi tribologi, mekanika fraktur, analisis elemen hingga, desain mekanis, serta pengembangan dan kebijakan pendidikan tinggi. Ia merupakan Fellow Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI) sejak 2008.
Setelah menjadi Anggota AIPI selama 10 tahun, Satryo akhirnya dipilih menjadi Ketua AIPI ke VI periode 2018-2023 menggantikan Prof Sangkot Marzuki yang telah menjabat Ketua AIPI selama dua periode berturut-turut (2008-2018). Sebelum itu, Satryo mengemban Wakil Ketua AIPI periode 2013-2018.
Beberapa tahun terakhir ini, Satryo juga aktif sebagai dosen tamu di bidang teknik mesin di Toyohashi University of Technology, Jepang, dan juga alamaternya ITB.
Satryo dinilai sukses mengemban Keketuaan S20 (Science-20), engagement group pada forum kerja sama ekonomi internasional Presidensi G20 tahun 2022, ketika Indonesia mendapat giliran menyelenggarakan Keketuaan G20.
Ia berhasil merangkul seluruh Akademi Ilmu Pengetahuan negara-negara yang tergabung dalam G20 di tengah tantangan luar biasa yaitu konflik Uni Soviet-Ukraina memanas dan pandemi Covid-19 yang sedang memuncak.
Enggan Dipanggil Profesor
Dalam kesempatan wawancara dengan detikEdu pada Jumat (10/1/2025) lalu, Menteri Satryo mengungkapkan enggan dipanggil Profesor. Meski, sapaan itu jelas pantas disandangnya sebagai akademisi yang telah berkiprah sekian lama.
Pakar teknik mesin ini mengaku justru lebih nyaman dipanggil nama dengan hanya embel-embel "Pak" atau "Saudara" ketimbang disapa "Prof".
"Alasannya sangat sederhana. Jadi kita kan masing-masing punya nama ya. Panggil namanya gitu kan paling tambahin Pak atau Saudara, silakanlah gitu. Kalau profesor itu kan jabatan akademik," ujar Satryo.
Jabatan akademik beda gelar akademik. Gelar akademik, seperti sarjana, magister, atau doktor, sifatnya permanen dan tetap melekat pada orang yang sudah meraihnya. Adapun jabatan akademik, sifatnya sementara dan ada batas waktunya.
Menteri Satryo mengatakan bila seorang profesor sudah tidak lagi mengajar, sebetulnya tidak bisa dipanggil profesor gitu.
"Itu intinya. Tapi kan ya karena banyak sekali rekan-rekan yang manggil saya Prof, karena emang saya masih mengajar waktu belum jadi menteri," ujarnya.
"Kan sekarang nggak punya waktu (mengajar) nih. Jadi kan nggak ngajar sementara. Jadi nggak usah dipanggil 'Prof' gitu."
Selain itu, Satryo mengaku punya argumentasi yang lebih mendalam. Ia mengaku gundah melihat gelar yang "agung" itu sangat mudah diperoleh. Bahkan dengan mengangkangi kaidah akademik.
"Sekarang banyak orang-orang, ya mohon maaf, mendapatkan profesor dengan cara yang terlalu mudah. Saya amati juga tidak sesuai dengan kaidah-kaidah akademik yang seharusnya," katanya.
Baca juga: Prof Satryo, Eh... Pak Satryo |
"Sehingga kalau beliau pakai profesornya, terus saya juga pakai profesor, dikira saya sama seperti dia. Gitu kan," imbuhnya.
"Jadi saya mencoba untuk gerakan moral sebetulnya, ya kita nggak usah panggil prof-lah gitu loh. Panggil namanya aja sudah gitu ya. Ini upaya untuk mengurangi atau meniadakan penggunaan sebutan-sebutan yang tidak pada tempatnya," ujar Menteri Satryo.
(nwk/faz)