Kehadiran Muhammadiyah sebagai organisasi Islam di Indonesia turut melahirkan sejumlah tokoh penting dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia. Misalnya, Abdul Rahman Awad Baswedan atau yang dikenal dengan AR Baswedan.
Tidak banyak informasi yang mengangkat seputar perjuangan AR Baswedan pada masa pergerakan sampai pascakemerdekaan. Namun, tokoh kelahiran Surabaya ini telah berperan penting dalam mempersatukan kaum Arab dan menginspirasi peranakan Arab membantu perjuangan.
Bahkan, ia mengumpulkan para pemuda Arab untuk mengikrarkan Sumpah Pemuda Keturunan Arab di Semarang. Dengan begitu, mereka menyatakan komitmen sebagai bagian dari bangsa Indonesia.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Atas jasa-jasanya dalam perjuangan kemerdekaan, AR Baswedan menerima gelar sebagai pahlawan nasional. Penghargaan tersebut diberikan Presiden Joko Widodo pada 8 November 2018.
Biografi AR Baswedan:
1. Latar Belakang Keluarga AR Baswedan
Abdul Rahman Awad Baswedan atau AR Baswedan adalah seorang keturunan Arab yang lahir di Kampung Ampel, Surabaya pada 9 September 1908. Ia anak dari pasangan Awad Baswedan dan Aliyah binti Abdullah Jarhum. Kakeknya bernama Umar bin Abubakar bin Muhammad bin Abdullah berasal dari keluarga syekh terpandang dari Syibam, Hadramaut.
Keluarga Baswedan merupakan keluarga pedagang yang terkenal sebagai saudagar kaya di Surabaya. Bahkan, ayahnya adalah seorang konglomerat pada masanya. Ia tumbuh sebagai tokoh pergerakan nasional dengan didikan agama Islam yang kuat.
AR Baswedan menikah sebanyak dua kali, yakni dengan Seikhun pada 1925 dikaruniai 9 orang anak, dan Barkah dikaruniai 2 orang anak. Karena tuntutan pekerjaan, ia sempat pindah tempat tinggal ke beberapa daerah dengan mengajak seluruh anggota keluarganya.
Tahun 1980, ia menderita penyakit diabetes sehingga mengharuskannya menyuntikkan insulin ke tubuhnya setiap hari. Dengan keterbatasan tenaga yang dimiliki, ia tidak berhenti berkarya.
Namun, ia harus mengakhiri perjalanannya karena penyakit diabetes membawanya ke RSI Cempaka Putih Jakarta. Pada 16 Maret 1986, ia meninggal dunia dan disemayamkan di TPU Tanah Kusir Jakarta.
2. Latar Belakang Pendidikan AR Baswedan
AR Baswedan mengawali pendidikannya di Madrasah Al-Khairiyah, yang lokasinya tidak jauh dari Masjid Ampel di Surabaya. Namun, karena terjerat permasalahan dengan kakak dan temannya dari golongan gabili atau sayid, ia memutuskan keluar dan berpindah ke Madrasah Al-Irsyah di Jakarta.
Tidak berselang lama, ia kembali ke Surabaya. Ketika sang ayah menderita penyakit, ia tidak dapat kembali ke Jakarta, dan melanjutkan pendidikan di Hadramaut School di Surabaya. Dari situlah ia belajar mengenai sastra Arab.
Menginjak usia 12 tahun, AR Baswedan mengikuti kursus bahasa Belanda Nederlands Verbond untuk mempersiapkan diri menjadi pegawai pemerintah Hindia Belanda. Tahun 1925, ia tercatat sebagai mubaligh Muhammadiyah. Ia juga merupakan anggota Jong Islamieten Bond atau organisasi kaum pemuda Islam Indonesia terpelajar.
Semangatnya dalam menuntut ilmu mendorongnya mengikuti perkuliahan di Fakultas Arab IAIN Yogyakarta, untuk mendalami sastra Arab di usianya yang sudah menginjak 64 tahun. Namun, tidak sampai lulus ia memutuskan berhenti.
3. Perjalanan Karier AR Baswedan di Dunia Jurnalistik
Dikutip dari jurnal AR Baswedan: dari Ampel ke Indonesia karya Purnawan Basundoro, awalnya AR Baswedan membantu sang mertua menjajakan rokok kretek di Surabaya karena belum memiliki pekerjaan tetap. Meskipun lahir di keluarga pedagang, hal ini tidak membuatnya lantas mempunyai keahlian berdagang.
Atas ajakan dari temannya yang merupakan seorang keturunan Tionghoa nasionalis bernama Liem Koen Hian, ia mengawali karier di dunia jurnalistik dengan bergabung dalam surat kabar Tionghoa berbahasa Melayu, yaitu Sin Tu Po pada tahun 1923. Surat kabar ini seringkali menyerukan kemerdekaan Indonesia.
Rata-rata rekan kerjanya merupakan aktivis Partai Tionghoa Indonesia. Hal ini menginspirasinya mendirikan Persatuan Arab Indonesia (PAI) di Surabaya. Hubungan antarsesama aktivis ini dimanfaatkan untuk menghina pemerintah kolonial di Surabaya.
Ketika Sin Tit Po mengalami kebangkrutan, AR Baswedan bersama rekannya dari PTI bernama Tjoa Tjie Liang berpindah ke surat akbar Soeara Oemoem, yang dipimpin dr. Soetomo. Namun, keduanya seringkali mendapat kecaman dari pemerintah Belanda karena dianggap sebagai bangsa asing.
Karena faktor keluarga, ia memutuskan pindah ke surat kabar Matahari di Semarang yang merupakan surat kabar nasionalis Tionghoa Melayu. Hanya bertahan selama satu tahun, pada 1935 ia mengundurkan diri. Ia memilih fokus mengurus organisasi PAI yang dibentuknya pada tahun 1934.
4. Deretan Karyanya
Kecintaannya terhadap buku, mendorongnya menghasilkan karya tulis dalam bentuk syair puisi dan cerita. Ia menulis menggunakan nama samaran Ibn Hani Al-Indonesia, yang terinspirasi dari nama seorang penyair Spanyol Ibn Hani Al-Andalusia.
Adapun karya yang dihasilkannya, antara lain syair berjudul Tawakkal, Nikmat Rokhani, Antar Guru Dengan Bekar Muridnya, Digoda Sedih, Umatku, Wanita, dan Mengenang Ibu.
Karya-karya lainnya yang sudah dibukukan meliputi Debat Sekeliling PAI (1939), beberapa catatan bertajuk Sumpah Pemuda Indonesia Keturunan Arab (1934), Rumah Tangga Rasululloh (1940), Buah Pikiran dan Cita-cita AR Baswedan, dan Menuju Masyarakat Baru.
5. Peran Pascakemerdekaan Indonesia
Mengutip jurnal Perjuangan AR Baswedan Pada Masa Pergerakan Sampai Pasca Kemerdekaan Indonesia Tahun 1934-1947 karya Eva Olenka & Suparwoto, AR Baswedan turut berperan dalam upaya mempertahankan kedaulatan Indonesia pascakemerdekaan. Peran-peran tersebut di antaranya:
- Menjadi anggota BPUPKI yang memberikan gagasan agar orang-orang keturunan Arab mendapatkan pengakuan sebagai bagian dari bangsa Indonesia.
- Menjadi anggota KNIP yang menyatakan keinginan rakyat Indonesia untuk hidup sebagai bangsa yang merdeka, dan mempersatukan rakyat dari segala lapisan, membantu para pemimpin dalam mewujudkan cita-cita bangsa Indonesia di daerah.
- Pada 1947, ia menjadi anggota delegasi di Mesir dengan tujuan mendapatkan pengakuan kemerdekaan bagi Republik Indonesia dari negara-negara Islam di Timur Tengah.
Artikel ini ditulis oleh Savira Oktavia, peserta Magang Bersertifikat Kampus Merdeka di detikcom.
(irb/sun)