Mulanya, tinju bukan milik pribumi. Saat pemerintah kolonial Belanda menguasai Surabaya sejak 1743, tinju adalah olahraga wajib bagi bagi tentara Belanda KNIL. Tinju menjadi terkenal di Hindia Belanda sejak munculnya juara dunia Jack dempsey sekitar 1920-an, lalu para serdadu KNIL mengenalkan tinju kepada khalayak di Surabaya.
Hal itu sebagaimana diteliti oleh Dani Samuel Manalu, Alumnus Prodi Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Airlangga Surabaya pada 2018. Dani mengulas sejarah tinju di Surabaya yang pernah berjaya di tahun 1970 hingga 1980-an dalam skripsi berjudul 'Sejarah Tinju Profesional di Surabaya: Kontribusi Sasana Sawunggaling Tahun 1971-1988'.
Berangsur-angsur, olahraga yang penuh tantangan itu menjadi olahraga populer yang diminati beragam kalangan, hingga beberapa pribumi turut meramaikan ajang olahraga ini. Salah satunya adalah Paul Esau Ferdinandus, petinju kawakan Surabaya kelahiran Saparua Maluku yang naik ring pertama kali di umur 15 tahun pada dekade 1930-an.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Paul bergabung di perkumpulan atletik Health and Strength dan berlatih di Gie Hoo klub yang dulu berada di jalan kapasari nomor 4-6 dan sempat berganti nama jadi Garuda Harapan. Selain Gie Hoo, ada satu perkumpulan atletik atau sasana tinju di Surabaya yang berperan sangat penting, yakni POR Gymnastiek Vereniging Tionghoa yang nantinya menjadi Suryanaga.
Selain orang Belanda, orang Tionghoa berperan besar dalam perkembangan tinju. Beberapa petinju keturunan Tionghoa yang sukses di zamannya adalah Kwee Ting Hoen dan Marketis Lazaar. Mereka aktif berkegiatan di perkumpulan pemuda Tionghoa bidang olahraga bernama POR Gymnastiek en Sportvereeniging Tionghoa Surabaya.
Perkumpulan olahraga yang tadinya fokus pada bidang atletik, senam, dan sepakbola itu terbentuk karena banyaknya bond-bond pemuda belanda di Surabaya. Klub olahraga ini juga melahirkan atlet bulu tangkis berperngaruh seperti Rudy Hartono, Martina, Ali Winarto, Agustina dan Utami Dewi, Eliza Kurniawan, Merry Halim, Lilik Sudarwati, Liliana Santoso dan lain-lain.
POR Gymnastiek en Sportvereeniging Tionghoa Surabaya berdiri pada 1908. Selanjutnya, perkumpulan ini berubah nama menjadi Naga Kuning pada 1959, kemudian pada 1966 berubah menjadi Suryanaga. Begitu tinju mulai dikenal luas di Surabaya, perkumpulan ini turut aktif mengembangkan tinju.
Petinju Belanda Kid Bellel tercatat pernah berlatih di Suryana dan sempat melatih beberapa petinju pribumi. Di kemudian hari, perkumpulan Suryanaga ini melahirkan para petinju yang turut mengembangkan dunia tinju Tanah Air dengan mendirikan sejumlah sasana tinju penting di Surabaya.
Sejumlah atlet tinju pribumi mula-mula yang turut membesarkan Suryanaga di antaranya Fredie Ramschie dan Petrus Setijadi laksono. Keduanya memang bukan asli asuhan Suryanaga, karena sebelum aktif berlatih di Suryanaga, Petrus Setijadi Laksono dan Fredie Ramschie sudah menjadi petinju profesional di era 60-an.
Petrus Setijadi adalah petinju profesional kelahiran Malang yang telah aktif bertinju pada usia belia dan dilatih oleh petinju Kid Darlim. Pada akhirnya Petrus masuk ke Suryanaga sebagai pelatih menggantikan Kid bellel yang harus kembali ke Belanda. Sebaliknya, Fredie Ramschie adalah petinju asli Suryanaga yang sempat dilatih oleh Kid Bellel.
Sejumlah perkumpulan olahraga komunitas tionghoa ini telah berhasil menjaga ritme pertumbuhan olahraga tinju di kota Surabaya. Olahraga Tinju memang tidak tercatat sebagai salah satu cabang olahraga yang ada di Klub Suryanaga, tetapi dalam kegiatan Tinju di Surabaya klub Suryanaga sempat tercatat sebagai tempat latihan.
Seiring berkembangnya waktu, tinju di Surabaya semakin berkembang. Terutama dengan semakin banyaknya sasana tinju di Kota Pahlawan. Salah satu tokoh yang turut mengembangkan sasana di Surabaya adalah Petrus Setijadi Laksono, petinju profesional yang sempat bernaung di bawah Persatuan Tinju dan Gulat (Pertigu) dan sempat menjadi pelatih di Suryanaga.
Perkembangan sasana tinju di Tanah Air. Baca di halaman selanjutnya.
Sempat vakum dari tinju pada 1957, setahun setelah dirinya dinobatkan sebagai petinju terbaik di Jakarta dan menikahi istrinya, pada 1969 Petrus Setijadi Laksono kembali menjadi petinju amatir dan memperkuat tim Jawa Timur di PON VII di Surabaya. Dengan postur tubuhnya yang tinggi besar tapi sangat lentur dia berhasil merebut medali emas untuk kelas berat.
Pada 1970 Setijadi menjadi pelatih tinju di perkumpulan Suryanaga. Dia menggantikan pelatih sebelumnya, Kid Bellel yang harus pulang ke negara asalnya di Belanda. Di Suryanaga dia melatih sejumlah petinju seperti Kacung dan Wan Djing yang semula dilatih Kid Bellel. Hingga pada 1971, seiring dilegalkannya tinju profesional Setijadi Laksono mendirikan sasana Sawunggaling yang di Jalan Kali kepiting nomor 123 Surabaya.
Tidak hanya turut memprakarsai tinju profesional di Jawa Timur, nama Setijadi juga dikenal tokoh dan badan tinju mancanegara. Sejumlah petinju asuhannya yang mencuat di kancah tinju nasional dan internasional di antaranya Wongso Suseno, Hengky Gun, Kai Siong, Didik Mulyadi, Wongso Indrajit, Yani Hagler dan banyak lainnya.
Tokoh lain yang juga berpengaruh dalam tinju di Kota Pahlawan adalah Eddy Pirih. Pria yang juga dikenal sebagai promotor tinju handal itu merupakan pendiri sekaligus pemilik Pirih Boxing Camp Surabaya. Dari sasana tersebut banyak petinju handal Tanah Air yang juga mewarnai perkembangan tinju di masa-masa mendatang.
Tokoh Komisi Tinju Indonesia (KTI) PW Afandy yang akrab disapa Wei Fan itu mengatakan, selama ia menjadi promotor tinju, masa keemasan olahraga dan panggung tinju di tanah ada di kisaran tahun 1986. Dia turut serta mengundang para petinju kelas dunia datang ke Indonesia bersama mantan Panglima TNI, Hendro Priyono dan rekannya, Herry Sugiarto alias Aseng.
"Tahun 1980 sampai 2013 masih berjaya, saya mengerti karena juga pernah jadi ketua KTI Surabaya sejak 2003 sampai 2013," sambungnya.
Namun, sepeninggal Aseng, Wei Fan menggeluti dunia tinju seorang diri. Hingga akhirnya ia memutuskan untuk 'rehat' sejenak dari dunia tinju. Dia pun mengenang bagaimana dirinya dan Aseng membantu penuh agar tinju hidup sejak 1986, terutam ketika dirinya bersama Hendro Priyono yang juga merupakan tokoh tinju mengundang sejumlah juara tinju dunia.
"Saya gemar sekali sama tinju, tujuan lainnya juga saya ingin Jatim ada juara yang bagus dan menonjol. Saya juga mencari bibit muda dan talenta baru berprestasi. Tapi, sejak aseng meninggal, mrotoli semua, hingga tahun 2004 sampai 2005," imbuhnya.
Kini tinju kian pudar. Bahkan dunia tinju di Tanah Air bisa dikatakan sudah beku selama lebih dari 1 dekade atau sejak 2012 silam. Wei Fan hanya bisa mengenang momen paling berkesan ketika atlet binaannya berprestasi. Baik nasional mau pun internasional.
"Petinju-petinju saya jadi semua, mulai Soewarno sampai Kai Siong. Sekarang mereka semua sudah pensiun," ujar dia.
Namun, semangatnya untuk membangkitkan tinju di Tanah Air, terutama di Surabaya dan Jawa Timu masih ada. Dengan berdirinya Asosiasi Petinju Indonsia, dia bertekad hendak menggerakkan kembali tinju di Indonesia yang mana itu akan dimulai dari Jatim. Dia akan kembali menghidupkan sasana tinju, mencari dan memetakan bibit petinju baru, hingga menggelar pertandingan tinju.
"Saya akan adakan pertandingan-pertandingan, salah satunya Pangdam Cup, sekitar 6 sampai 7 partai di Jatim. Setidaknya juara di Asia dulu lah," ungkapnya.