Sejarah Panjang Budaya Malam Takbiran di Nusantara

Sejarah Panjang Budaya Malam Takbiran di Nusantara

- detikJatim
Minggu, 30 Mar 2025 11:50 WIB
Takbir Keliling Menyambut Idul Adha di Surabaya
Takbir keliling di Surabaya (Foto: Rifki Afifan Pridiasto/detikJatim)
Surabaya -

Malam takbiran selalu menjadi momen istimewa bagi umat Islam. Gema takbir yang berkumandang dari masjid menandai kemenangan setelah sebulan berpuasa.

Di Indonesia, takbiran bukan sekadar ritual ibadah, tetapi juga warisan budaya Islam yang kaya dengan nilai-nilai kearifan lokal.

Sejarah Takbiran Nusantara

Pakar budaya Islam dari Fakultas Ilmu Budaya Unair, Ahmad Syauqi, S. Hum., M.Si, mengungkap, tradisi takbiran di Nusantara sudah ada sejak masa kesultanan Islam. Tepatnya pada abad ke-15 hingga ke-18 M, takbiran menjadi bagian dari tradisi keagamaan Islam.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Memasuki era kolonial, sekitar abad ke-19 hingga ke-20 M, takbiran tetap dilaksanakan meskipun dalam kondisi terbatas di bawah penjajahan Belanda.

"Takbiran juga sering kali menjadi bentuk perlawanan simbolis terhadap penjajahan," terangnya.

ADVERTISEMENT

Hingga kini, takbiran masih identik dengan tabuhan bedug yang menggema. Namun, seiring waktu, tradisi ini terus berkembang, bahkan merambah ke ranah digital.

"Saat ini kita melihat fenomena takbiran virtual melalui siaran langsung. Ini membuktikan bahwa esensi takbiran tetap bertahan, meskipun bentuknya terus beradaptasi," imbuhnya.

Menurutnya, tradisi takbiran di berbagai negara memiliki keunikannya sendiri. "Di Indonesia, elemen budaya sangat kental. Islam berakulturasi dengan budaya lokal, menghasilkan pawai obor, gema bedug, dan takbir keliling," jelasnya.

Contohnya, di Pulau Jawa, terdapat Takbir Keliling seperti di Yogyakarta dan Solo. Sementara di Madura, takbiran dilakukan dengan tradisi Tellasan Topa'. Di luar Jawa, seperti di Aceh, masyarakat merayakan dengan seni Rateb Meuseukat, sebuah tarian sufistik. Sedangkan di Minangkabau, Sumatera Barat, tradisi Takbiran Bararak menjadi ciri khas.

Di Bugis-Makassar, Sulawesi Selatan, masyarakat melaksanakan Mappadendang, yang diiringi bunyi tabuhan lesung sebagai simbol rasa syukur. "Masyarakat Nusantara sangat inklusif, tidak hanya menghargai ajaran Islam tetapi juga merangkul kebudayaan lokal. Keterlibatan masyarakat dari berbagai lapisan, baik di kota maupun di pelosok, membuat takbiran menjadi tradisi yang menyatukan," ungkapnya.

Malam Spiritualitas atau Sekadar Euforia?

Di beberapa daerah, takbiran berubah menjadi ajang kompetisi, seperti perlombaan bedug terbesar, replika masjid paling megah, atau pawai takbir paling meriah. Tak jarang, perayaan ini juga diiringi dengan petasan dan kembang api, yang justru menjauhkan dari makna asli takbir.

"Malam takbiran adalah momentum sakral untuk merenungkan kebesaran Allah, bukan sekadar pesta. Jangan sampai kemeriahan justru menghilangkan substansi spiritualnya," tegasnya.

Ia juga mengingatkan bahwa takbir adalah bentuk pengakuan atas kebesaran Allah, sekaligus bagaimana Islam berinteraksi dengan budaya lokal tanpa kehilangan esensinya.

"Yang perlu kita jaga adalah keseimbangan antara tradisi dan spiritualitas. Takbiran harus tetap menjadi ajang syiar Islam, bukan sekadar euforia sesaat," pungkasnya.




(Hilda Meilisa Rinanda/iwd)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads