Pergulatan Batin Jawara Tinju yang Jual Otot Jadi Debt Collector

Pergulatan Batin Jawara Tinju yang Jual Otot Jadi Debt Collector

Praditya Fauzi Rahman - detikJatim
Senin, 15 Mei 2023 20:09 WIB
Para legenda tinju Surabaya. Andrian Kaspari hingga Dominggus Siwalette.
Dominggus Siwalette saat merebut sabuk juara IBF Interncontinental kelas terbang mini pada 1993. (Foto: Istimewa/dok API Jatim)
Surabaya -

Momen kemenangan 30 tahun lalu tak terlupakan bagi Dominggus Siwalette, eks petinju kelas terbang mini yang pernah meramaikan sasana tinju Pirih Boxing Camp di Surabaya. Itu adalah momen yang sangat membanggakan baginya hingga saat ini. Dia berhasil merebut gelar juara IBF Intercontinental saat bertanding di Thailand.

"Saya masih ingat betul, tahun 1993 itu saya juara IBF Intercontinental dan saya rebut juara di Thailand," kata pria kelahiran Ambon itu kepada detikJatim, Senin (15/5/2023).

Setelah menyabet sabuk emas IBF tersebut, dia bertemu dengan Herry Sugiarto, promotor tinju sekaligus pelatih yang akrab disapa A Seng. Kemudian pada 1994 hingga 1996 dia diajak oleh A Seng untuk berlatih di Surabaya.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Saat itu saya kenal dan diajak Pak Aseng, selama 2 tahun saya sempat berlatih di Sasana Pirih Surabaya. Lalu pada 1997 itu saya bertanding di Filipina untuk pertandingan persahabatan," ujarnya.

Pada saat itulah pergulatan batinnya dimulai. Dia telah menikahi istri yang merupakan orang Surabaya. Hari pertandingan di Filipina itu, kata Dominggus, bersamaan dengan hari kelahiran anak pertamanya.

ADVERTISEMENT

"Saya sudah berjanji pada diri saya sendiri, ketika anak saya lahir saya akan pensiun dari tinju,"katanya.

Karenanya, begitu menuntaskan pertandingan di Filipina, saat kembali ke Surabaya Dominggus memutuskan untuk pensiun. Dia ingat waktu itu dia masih berusia 38 tahun. Karier tinjunya sebenarnya masih panjang.

"Waktu itu saya 38 tahun. Jadi terlalu cepat berhenti sebenarnya. Tapi itu sudah menjadi prinsip saat saya sudah punya anak saya pensiun. Saya tanding di Filipina pada 10 Desember 1997 itu bersamaan dengan hari lahir anak saya, akhirnya saya pulang itu memutuskan untuk pensiun," ujarnya.

Di balik niatnya pensiun, Dominggus mengakui bahwa sebenarnya tinju sudah mendarah daging di dalam tubuhnya. Keputusan pensiun dini sebenarnya sangat berat baginya. Belum terpikir pula baginya saat itu untuk melatih tinju.

Para legenda tinju Surabaya. Andrian Kaspari hingga Dominggus Siwalette.Legenda tinju Surabaya kelahiran Ambon, Dominggus Siwalette. (Foto: Istimewa/dok API Jatim)

"Jadi saya 1997 pensiun, tahun 2000 saya dipanggil ke Bandung untuk menjadi pelatih tetap di Sasana Sanambu. Baru 2021 kemarin saya pulang ke Surabaya, saya bantu melatih tinju di Arhanud Gedangan. Kalau di luar itu saya kerja debt collector aja," katanya.

Profesi debt collector itu sebenarnya juga memunculkan pergolakan batin bagi pria yang naik ring tinju pertama kali pada 1989 di Jakarta. Dominggus mengenang bagaimana tinju telah menyelamatkan dirinya dari kehidupan jalanan yang keras, yang tak jarang diwarnai perkelahian. Pada akhirnya Dominggus kembali ke ring sebagai pelatih tinju.

"Daripada berantem nggak karuan, akhirnya saya geluti tinju (lagi). Setelah berproses saya tidak ke amatir, tapi langsung ke profesional," katanya.

Pengalaman sebagai debt collector saat tidak memiliki pekerjaan tetap pada rentang waktu 1997 hingga tahun 2000 menjadi pelajaran hidup berharga bagi Dominggus. Baginya, profesi itu tidak bisa menggantikan tinju di dalam darahnya.

"Pergulatan batin pasti ada itu, karena tidak punya pekerjaan tetap, ya, saya menjalani apa yang ada saja. Debt collector ini karena saya saat kembali ke Surabaya diajak teman-teman. Ya saya jalani saja. Banyak orang Ambon yang memang menjadi debt collector. Tapi kan tetap ada risikonya saat kita di jalan," katanya.

Karena itulah, begitu dia mendengar bahwa Asosiasi Petinju Indonesia (API) Jatim hendak membangkitkan kembali tinju di Surabaya, dia langsung meminta untuk bergabung. Sama seperti para pengurus API, Dominggus merasa Surabaya yang pernah menjadi gudangnya petinju yang ditakuti bisa bangkit kembali.

"Jadi saya ingin sasana yang pernah ada di Surabaya hidup kembali. Seperti Sawunggaling dan Pirih yang dulu sangat ditakuti. Dengan begitu akan lebih banyak petinju muda yang akan bermunculan. Dan saya yakin dengan hidupnya sasana di Surabaya, kejahatan jalanan di Surabaya akan berkurang," katanya.

Seperti pernah dikaji Dani Samuel Manalu, alumnus Prodi Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Airlangga Surabaya pada 2018. Dia mengulas tinju di Surabaya pernah berjaya pada tahun 1970 hingga 1980-an.

Dalam skripsinya berjudul 'Sejarah Tinju Profesional di Surabaya: Kontribusi Sasana Sawunggaling Tahun 1971-1988', disebutkan pada awal perkembangannya tinju sebenarnya bukan milik kaum pribumi, tapi merupakan olahraga rutin tentara Hindia Belanda yang disebut KNIL.




(dpe/dte)


Hide Ads