Sejarah Panjang Penamaan Jember Sebagai Kota Tembakau

Sejarah Panjang Penamaan Jember Sebagai Kota Tembakau

Sri Rahayu - detikJatim
Jumat, 27 Des 2024 08:30 WIB
Museum Tembakau Jember
Museum Tembakau Jember/Foto: Instagram Museum Tembakau Jember
Surabaya -

Jember kini dikenal sebagai salah satu daerah penghasil tembakau terbaik di Indonesia. Penamaan ini memiliki sejarah panjang dan kompleks.

Sebelum abad ke-19, Jember hanyalah distrik kecil di bawah Lamajang. Namun, statusnya berubah setelah menjadi pusat perkebunan tembakau yang mendunia pada era kolonial Belanda.

Pada masa lalu, kondisi topografi Jember sebagian besar berupa dataran rendah yang subur, berawa, dan berair. Hal ini melahirkan istilah 'moeras' yang berarti genangan berlumpur. Banyak desa di wilayah ini memiliki nama yang berkaitan dengan air, seperti Curah Lele, Curah Nangka, dan Rawatamtu. Bahkan, nama Jember sendiri bisa berarti "becek."

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Pada abad ke-13, wilayah yang kini disebut Jember merupakan bagian dari Lamajang dan Tigang Juru, dikenal sebagai hutan belantara yang berfungsi sebagai benteng alam untuk kerajaan di Bali.

Pada masa Majapahit, Jember menjadi saksi perjalanan sejarah penting. Wilayah ini menjadi salah satu tempat ziarah Hayam Wuruk pada tahun 1359 M, sebagaimana dicatat oleh Mpu Prapanca dalam naskah Negarakretagama. Selain itu, Jember juga menjadi medan perang saat Perang Paregreg dan basis pertahanan dalam ekspedisi Majapahit ke Bali.

ADVERTISEMENT

Menurut Nur Setiawan, seorang pemerhati sejarah dan budaya Surabaya, nama Jember berasal dari sejarah klasik zaman kerajaan Majapahit. Kemudian, Jember berkembang sebagai daerah tersendiri hingga menjadi bagian penting dalam sejarah.

"Wilayah ini dulunya bagian dari Lamajang yang sekarang di sebut Lumajang di bawah kekuasaan Majapahit. Ketika konflik politik memecah wilayah itu, Jember mulai berkembang sebagai daerah tersendiri hingga menjadi bagian penting dari sejarah kolonial," ujarnya saat dihubungi detikJatim, Kamis (26/12/2024).

Di masa kolonial, Jember dikenal sebagai Java's Oosthoek, wilayah yang menjadi bagian dari kekuasaan VOC setelah digadaikan oleh Mataram. Ketika golongan liberal di Belanda mulai menerapkan kebijakan Open Door Policy, Jember diubah menjadi lahan perkebunan besar untuk tembakau, kopi, kakao, dan karet.

Perkembangan Jember sebagai kota tembakau dimulai pada 21 Oktober 1859 ketika George Birnie, Mathiesen, dan Van Gennep mendirikan NV Landbouw Maatschappij Oud Djember (LMOD). Komoditas tembakau dipilih karena tingginya permintaan di pasar Eropa dan Amerika untuk bahan cerutu.

"Pada abad ke-19, Belanda membawa tembakau dari Amerika Latin untuk disilangkan dengan varietas lokal Jember. Hasilnya adalah tembakau berkualitas tinggi yang menjadi unggulan di pasar global," imbuh Nur.

Keberhasilan perkebunan tembakau membawa dampak besar pada perkembangan ekonomi Jember. Daerah yang sebelumnya terbelakang mulai tumbuh pesat dengan infrastruktur yang dibangun untuk mendukung industri tembakau.

Namun, usaha tembakau tidak hanya berkontribusi pada pembangunan ekonomi. Perkebunan ini juga berdampak pada demografi dan budaya lokal. Ribuan pekerja lokal dan pendatang terlibat dalam pengelolaan tembakau, mulai dari pembibitan hingga ekspor.

"Usaha tembakau bukan hanya soal bisnis, tetapi juga menyentuh sendi-sendi kehidupan masyarakat dari semua kalangan," ungkap Nur Setiawan.

Setelah kemerdekaan Indonesia, perusahaan-perusahaan Belanda di nasionalisasi melalui Undang-undang Nomor 86 Tahun 1958 dan Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 1959. Perusahaan-perusahaan seperti NV Landbouw Maatschappij Oud Djember dan Besoeki Tabaks Maatschappij (BTM) diubah menjadi Perusahaan Perkebunan Negara (PPN), yang kemudian menjadi PTP XXVII pada 1972 dan PT Perkebunan Nusantara X (PTPN X) pada 1996.

Namun, kejayaan tembakau Jember mulai surut pada tahun 1970-an. Banyak perusahaan tidak mampu bertahan menghadapi perubahan pasar dan akhirnya gulung tikar. Meski begitu, hingga kini masih ada 18 eksportir tembakau yang bertahan di Jember, menjadikannya tetap relevan dalam industri tembakau global.

Selain itu, tembakau Jember tidak hanya mencerminkan usaha agribisnis, tetapi juga simbol perjuangan melawan kolonialisme. Nur Setiawan mengungkapkan, sama seperti halnya tokoh Joko Sambang dan Sumur Gemuling yang berasal dari tradisi lisan masyarakat di Jawa, khususnya di Pasuruan dan Gresik.

Mereka sering dianggap jahat, tetapi sebenarnya mereka berjuang melawan kebijakan kolonial yang merugikan petani lokal. Joko Sambang, sebagai pendekar, berupaya membebaskan rakyat dari penindasan Belanda, meskipun sering disalahpahami oleh masyarakat.

Begitu pula, Sumur Gemuling mewakili perlawanan terhadap ketidakadilan yang dialami oleh komunitasnya, menunjukkan bahwa tindakan mereka didorong oleh semangat untuk melindungi dan memperjuangkan hak-hak rakyat.

"Tokoh seperti Joko Sambang dan Sumur Gemuling sering dianggap jahat, padahal mereka mempertaruhkan nyawa demi melawan kebijakan kolonial yang merugikan petani lokal," kata Nur.

Meski Jember kini dikenal luas sebagai kota tembakau, sejarahnya yang kaya menunjukkan bahwa perkembangannya tidak hanya didorong oleh aspek ekonomi, tetapi juga oleh dinamika sosial, budaya, dan politik.

"Penamaan Jember sebagai kota tembakau adalah refleksi dari perjalanan panjang daerah ini, dari era klasik hingga kolonial, yang menunjukkan adaptasi dan perjuangan masyarakatnya," tutup Nur.




(hil/iwd)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads