Kasus teror antartetangga dengan menyiram kencing dan tinja di Sukodono, Sidoarjo sedang menjadi perhatian publik. Psikolog forensik menyebut bahwa kasus itu merupakan bentuk dari agresi kotoran. Simak penjelasan selengkapnya.
Dosen sekaligus Peneliti Psikologi Forensik Unair Margaretha menjelaskan bahwa agresi memang bisa berupa perlakuan yang ditujukan untuk mempermalukan atau merendahkan orang lain. Tujuannya juga untuk membuat orang lain rugi baik fisik, psikis, atau moral.
"Dipermalukan di depan umum. Jadi ini secara khas adalah agresi. Yang menarik, tinggal kita memastikan ketika seseorang melakukan agresi ini apakah disertai kesadaran? Jadi dia sadar betul apa yang dia lakukan suatu hal yang akan merugikan orang lain dan itu melanggar aturan?" katanya kepada detikJatim, Selasa (16/5/2023).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Bila tindakan agresi itu disertai dengan kesadaran, hal itu menurutnya dalam istilah hukum sudah termasuk mens rea atau sudah ada niat jahat yang muncul sebelum melakukan suatu tindakan atau actus reus.
"Kalau mens rea dan actus reus sudah terbukti, sudah ada, jadi ada niat jahat ingin melukai atau mempermalukan orang lain dan ada pelanggaran. Artinya ditemukan pasal-pasalnya, sebenarnya tindakan agresi ini sudah bisa dikategorikan sebagai kejahatan dan bisa mendapatkan konsekuensi hukum," ujarnya.
Margaretha melihat bahwa dalam kasus yang sedang terjadi di Sukodono, Sidoarjo, seperti yang terekam dalam rekaman CCTV yang beredar luas, apa yang dilakukan oleh warga bernama Masriah itu dia duga tanpa paksaan.
"Kalau kita lihat di video, sepertinya tidak ada orang yang memaksa ibu ini untuk melemparkan air kencing dan kotoran. Dan tindakan melemparkan air kencing dan kotoran yang berulang-ulang dan membuat orang lain merugi adalah tindakan pelanggaran hukum. Dalam hal ini sepertinya tindakan agresi atau kekerasan ini bisa juga tergolong sebagai kejahatan. Namun, persoalannya apa yang harus kita lakukan dengan ini?" Katanya.
Sebelum sampai pada apa yang harus dilakukan, Margaretha menjelaskan lebih jauh tentang agresi yang bisa dilakukan oleh seseorang kepada orang lain. Dia jelaskan bahwa agresi itu bukan hanya berupa tindakan memukul atau memaki, tetapi juga ada istilahnya excrement aggression atau agresi dengan menggunakan kotoran air kencing maupun feses.
Margaretha menjelaskan bahwa hal itu bisa terjadi baik di dunia manusia maupun di dunia binatang. Dalam dunia binatang, bila binatang mau protes, menyatakan ketidaksukaan, binatang bersangkutan akan mengeluarkan kotoran baik itu kencing maupun feses atau tinja terhadap apa yang tidak disukai.
"Dan di dunia manusia juga orang juga bisa melakukan yang namanya excrement statement. Jadi itu adalah pernyataan dengan kotoran. Jadi dia mau menunjukkan ketidaksukaannya, protesnya, kebenciaannya, atau saya tidak menghargai kamu sebagai manusia lain yang setara dengan cara seperti itu," ujarnya.
Beda ekspresi agresi kotoran antara laki-laki dengan perempuan. Baca di halaman selanjutnya.
Untuk mengungkapkan excrement agression semacam itu, ada perbedaan cara yang dilakukan oleh laki-laki dengan perempuan. Dia jelaskan bahwa laki-laki akan lebih memilih sesuatu yang konfrontatif dan ingin terlihat secara gamblang saat melakukan tindakan agresi tersebut.
"Biasanya kalau laki-laki, dia langsung kencing, karena dia mau terlihat konfrontatif. Tapi kalau perempuan itu memilih cara-cara yang nggak langsung, yang tidak konfrontatif. Perempuan akan memilih sembunyi-sembunyi, tidak langsung, berusaha tidak kelihatan, berusaha tidak tampil menonjol atau merusak, melanggar norma atau aturan, atau tidak sesuai dengan penampilan agamisnya. So, i want to keep it secret. Jadi statement-nya itu indirect (tidak langsung)," katanya.
Selanjutnya, ia menjelaskan bahwa agresi dengan kotoran itu adalah bentuk agresi yang menunjukkan tidak hanya amarah yang melatarbelakangi tindakan itu, tetapi juga perasaan jijik atau perasaan yang menganggap orang lain lebih rendah.
"Kotoran itu kan sangat rendah, di India itu yang boleh mengelola kotoran hanya kasta terendah. Jadi kita mau memberikan kotoran kepada orang yang kita anggap hina, lebih rendah dari kita. Nah dalam psikologi emosi ini disebut sebagai contempt emotion. Jijik, atau menganggap orang lain hina," katanya.
Dia pun meminta orang membedakan antara jiji dengan marah. Kalau kemarahan bisa diwujudkan dengan ekspresi langsung kepada sumber kemarahan yang setara atau lebih rendah, sebaliknya kalau sudah jijik, seseorang akan menghadapi orang lain dengan anggapan lebih hina, atau lebih rendah.
"Nah ini memang kalau dilanjutkan tidak akan menjadi sesuatu yang baik karena memang emosi jijik seperti ini bisa terjadi di banyak bentuk kejahatan yang lebih serius. Dengan dia menggunakan kotoran, ada kemungkinan ibu ini bukan hanya marah dan melihat tetangganya orang yang setara, tapi ibu ini melihat lebih rendah atau sesuatu yang lebih hina. Tapi saya tidak bisa langsung menyimpulkan," ujarnya.
Margaretha pun menyarankan bahwa penuntasan masalah antara Masriah dengan Wiwik tidak dilakukan dengan cara mempertemukan mereka secara langsung. Mediasi semacam itu menurutnya justru tidak akan menghasilkan apapun, karena bisa jadi pelaku penyiram kotoran dalam hal ini Masriah menganggap Wiwik lebih rendah.
"Kalau seseorang sudah melakukan agresi dengan tidak langsung, berupaya excrement statement, juga dia diduga punya contempt emotion, ini adalah persoalan relasi serius. Ini sudah nggak seimbang antara pihak A dan pihak B. Tidak mungkin bisa diharapkan pihak A dan pihak B duduk di satu meja karena salah satu pihak menganggap rendah yang lainnya," ujarnya.
Margaretha pun menyarankan agar penegak hukum bekerja sama dengan pengambil keputusan di daerah memutuskan konsekuensi paling tepat dan paling bijak bagi Masriah, tidak selalu dengan cara dipenjara, yang penting ada konsekuensi yang harus diterima oleh pelaku teror air kencing dan tinja tersebut agar menghentikan perilakunya.
"Karena ini juga bisa jadi ada actus reus dan ada niat jahatnya, maka perlu dapat konsekuensi tindakan. Supaya ini tidak hanya menjadi koreksi primer terhadap pelaku supaya menghentikan tindakannya, tetapi ini juga bisa menjadi koreksi sekunder terhadap orang lain, supaya orang belajar 'kalau nggak suka jangan main lempar kotoran. Ada konsekuensinya!' So people learn from this!" Ujar Margaretha.