Angka 7 memang istimewa. Tenang, kali ini detikJatim tak akan mengulas skor 7-0 yang bersejarah di tanah Britania nun jauh di sana. Tapi ini adalah kisah lain soal angka 7 yang datang dari Kota 1.001 Gua alias Pacitan.
Ada sebuah desa istimewa di Pacitan yang sudah tersohor. Namanya 'Kampung Pitu'. Sesuai namanya, angka 7 memang melekat di desa tersebut.
Pada 2021, kisah Kampung Pitu pernah diulas oleh detikJatim. Rubrik Jatim Flashback pekan ini akan membahas kembali keunikan yang ada di Kampung Pitu.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Baca juga: Misteri Miss K di Apartemen Angker Surabaya |
Nama asli tempat itu adalah lingkungan Ngendak. Wilayah Desa Temon, Kecamatan Arjosari, ini lebih dikenal orang dengan Kampung Pitu. Sebab, sepanjang sejarahnya, hanya ada 7 Kepala Keluarga yang menghuni tempat tersebut.
Sekilas, lokasi Kampung Pitu ini begitu terpencil. Namun, sejatinya akses menuju ke permukiman tersebut cukup mudah dijangkau. Jaraknya hanya 4 km dari pusat Kecamatan Arjosari, Pacitan. Hanya saja, lokasinya yang jauh dari jalur utama membuatnya jarang terjamah warga luar.
Pada 2021 lalu, penduduk di perkampungan tersebut berjumlah 25 orang. Untuk menuju ke sana bisa dengan sepeda motor atau mobil kecil. Jalan penghubung yang ada sebagian besar sudah berlapis semen.
Infrastruktur lain yang juga dibenahi adalah jembatan. Sarana penyeberangan yang melintang sungai itu dulunya hanya terbuat dari bambu. Namun kini terdapat jembatan permanen yang terbuat dari cor. Lebarnya pun memadai dilewati mobil kecil.
"Kampung Pitu memang agak terpencil sekaligus memiliki beberapa mitos yang membuatnya berbeda dengan kampung lain," kata Kepala Desa Temon kala itu, Jamiatin (47) saat diwawancarai detikJatim pada 12 Oktober 2021.
Menurut cerita, lanjut Jamiatin, Kampung Pitu memang memiliki keistimewaan. Mitosnya, ada seorang wali yang datang dan diyakini pernah singgah di dusun tersebut. Itu dibuktikan dengan keberadaan pendedehan (tempat berjemur) sekaligus jejak kaki di tepi mata air.
Berdasarkan cerita turun-temurun, cuma ada 7 rumah yang dibangun di Kampung Pitu. Tak pernah kurang atau lebih. Kalau ada penambahan atau pengurangan rumah, warga setempat percaya sesuatu yang buruk akan menimpa desa mereka. Seperti adanya warga sakit, tidak kerasan, dan sebagianya hingga membuat yang bersangkutan pindah dari lokasi.
"Jadi dari dulu sampai sekarang hanya berjumlah 7 (KK)," tambah Jamiatin.
![]() |
Kendati demikian, mitos yang ada tidak menghentikan tekad pemerintah desa memajukan Kampung Pitu. Hanya saja, jarak yang relatif jauh dari pusat pemerintahan menjadi kendala tersendiri dalam percepatan pembangunan di kawasan itu. Belum lagi letak geografis yang membuatnya terkesan marjinal.
"Jadi dari pusat Desa Temon itu jaraknya sekitar 12 km menuju ke Kampung Pitu. Lebih dekatnya malah ke Desa Jatimalang dan Gayuhan," imbuh perempuan berjilbab itu.
Menurut Jamiatin, secara turun-temurun jumlah keluarga yang menghuni kampung itu tak pernah lebih dari 7 KK. Sebutan Kampung Pitu berasal dari kosakata dalam Bahasa Jawa 'Pitu' yang berarti tujuh.
Misteri tentang penghuni kampung yang tak pernah bertambah maupun berkurang itu seolah menjadi tirai yang tak kunjung tersibak. Pun begitu tak banyak sumber yang dapat bercerita. Namun, kisahnya tak tergeser oleh laju peradaban yang lambat laut menembus isolasi wilayah.
Ternyata, jumlah keluarga bukan hanya satu-satunya mitos yang menyelimuti Kampung Pitu. Sebutan 'Ngendak' sendiri dalam terminologi masyarakat setempat berarti pergeseran dari atas ke bawah. Hal itu kerap dimaknai jika seseorang pejabat datang ke Kampung Pitu, maka kelak pangkatnya akan turun.
Tentu saja tak semua orang mempercayai mitos tersebut. Hanya saja sebagian masih menganggapnya sebagai momok. Tak ayal, selama ini perkampungan yang berbatasan dengan sungai dan hutan itu relatif sepi dari kunjungan. Kecuali mereka yang bermaksud melakukan kegiatan spiritual pada hari-hari tertentu.
"Istilah Ngendak itu dulu dari kata-kata mudhun (turun). Kalau jabatannya tinggi bisa dilorot (diturunkan). Seperti itu," kata kepala desa dua periode itu menirukan pesan sesepuh yang memberinya petuah.
Di perkampungan itu juga terdapat sejumlah tempat sakral. Antara lain pendedehan (tempat berjemur) serta sendang (mata air). Di lokasi kedua ini terdapat jejak yang diyakini peninggalan wali. Bukti sejarah lain yang tersisa adalah masjid tua. Tempat ibadah ini sudah direnovasi tanpa mengubah unsur autentiknya.
Pemerintah desa berharap, mitos yang ada tak menjadi alasan berkurangnya perhatian terhadap warga yang tinggal di Kampung Pitu. Justru sebaliknya, ikon yang ada semestinya menjadi daya tarik untuk datang ke perkampungan ujung selatan Desa Temon.
"Mudah-mudahan mitos hanya mitos. Semua diserahkan kepada Yang Maha Mencipta, saya yakin semua itu dapat dibuka jangan sampai mitos itu menjadikan kampung ini tidak mendapat perhatian," harap Jamiatin.
Kampung Pitu dipercaya antigempa. Baca halaman selanjutnya.
Simak Video "Video Mitos atau Fakta: Emang Benar Ketindihan Tidur karena Diganggu Setan? "
[Gambas:Video 20detik]