Hawa yang dingin terasa menusuk tulang di ruang manuskrip kuno yang ada di Museum Radyapustaka Solo. Hawa dingin itu berasal dari dua perangkat AC berukuran besar di ruangan yang tidak seberapa luas itu.
Salah satu ahli manuskrip yang bertugas di museum, Totok Yasmiran, terlihat sedang membaca buku kuno di salah satu meja. Dinginnya udara di dalam ruangan memaksanya memilih menggunakan jaket tebal, lengkap dengan penutup kepala.
"Memang AC di ruangan manuskrip ini harus disetel dengan suhu paling rendah," kata Totok Yasmiran.
Hal itu dilakukan agar kelembapan di ruangan manuskrip bisa terjaga sehingga kertas-kertas buku kuno itu terjaga keawetannya.
Museum Radyapustaka Solo menyimpan berbagai manuskrip dan artefak kuno yang bersejarah. Hingga kini koleksi yang usianya ratusan tahun itu masih bisa disaksikan oleh pengunjung.
Di dalam museum, koleksi berharga tersebut secara rutin dirawat dan dikonservasi agar tetap mampu bertahan dari pelapukan.
"Sebenarnya museum ini belum memiliki petugas teknis konservasi," kata tenaga teknis kurator Museum Radyapustaka Solo, Bangkit Supriyadi.
Beruntung, para petugas di Radyapustaka rata-rata telah mendapatkan pelatihan konservasi dari beberapa lembaga. Hal itu membuat mereka akhirnya mampu melakukan konservasi secara mandiri.
Menurut Bangkit, mereka melakukan konservasi terhadap koleksi secara bertahap. Hal itu disesuaikan dengan jumlah petugas serta banyaknya koleksi yang ada di museum.
Perawatan terhadap koleksi berupa batu terhitung paling mudah dilakukan. Di museum itu ada beberapa koleksi batu, baik berupa arca, batu kumpang, batu menhir, batu lesung, dan komboran.
"Perawatan dan konservasi terhadap koleksi batu biasanya dilakukan dengan membersihkan lumut," katanya.
![]() |
Sedangkan untuk merawat koleksi yang terbuat dari logam biasanya membutuhkan alat dan bahan khusus. Selain mempertahankan warga logam, mereka harus membersihkan koleksi dari zat-zat penyebab korosi.
Adapun konservasi terhadap koleksi berupa buku kuno terhitung paling sulit. Sebab koleksi tersebut terhitung paling rapuh. Salah satu cara yang dilakukan adalah dengan menjaga suhu dan kelembapan di ruang penyimpanan agar kertas tetap awet.
Saat ini museum tertua di Indonesia itu juga terus melakukan digitalisasi terhadap naskah kuno yang ada di museum tersebut. Dengan proses ini para peneliti yang ingin mempelajari naskah-naskah kuno tidak perlu memegang langsung bukunya.
Beberapa buku atau naskah kuno yang tersimpan di Museum Radyapustaka di antaranya adalah Babad Mataram, Primbon Mangkuprajan, Kawruh Empu, dan Quran Jawi.
Koleksi naskah kuno tertua di museum tersebut adalah Serat Yusuf. Naskah kuno ini ditulis pada 1729. Hingga kini buku dengan tulisan tangan itu masih cukup terawat.
Sedangkan isi dari buku kuno itu adalah sejarah Islam di masa lalu di seputar kehidupan Nabi Yusuf.
Selain itu, salah satu koleksi yang membutuhkan perawatan khusus adalah wayang kulit. Beragam jenis wayang kulit menjadi koleksi di Museum Radyapustaka Solo.
Tidak hanya berbagai jenis wayang dari dalam negeri, seperti wayang purwa, wayang gadog, wayang madya, wayang klithik, wayang suket, dan wayang beber, wayang dari luar negeri juga bisa ditemukan di museum tersebut.
"Wayang kulit ini juga rawan rusak akibat lembap dan jamur," katanya.
Setiap tahun petugas museum selalu menggelar tradisi ngisis wayang, yaitu mengeluarkan koleksi wayang dan mengangin-anginkannya untuk menghilangkan lembap dan jamur.
Biasanya tradisi ngisis wayang itu digelar bersamaan jamasan pusaka saat Bulan Sura.
Serangkaian upaya konservasi itu dilakukan agar koleksi tetap lestari dan bisa dinikmati oleh generasi yang akan datang.
(ahr/dil)