Kota Solo menyimpan berbagai keunikan yang kadang mengundang rasa penasaran. Seperti halnya dengan ragam camilan yang memiliki nama-nama aneh di telinga bahkan terkesan jorok.
Salah satunya adalah camilan bernama tai kucing atau dalam bahasa Indonesia berarti kotoran kucing. Camilan khas berbahan utama tepung ketan ini juga dikenal dengan nama widaran manis.
Camilan yang bertabur gula di atasnya ini ternyata memiliki sejarah panjang hingga adanya akulturasi budaya di Kota Solo. Sejarawan asal Solo Heri Priyatmoko menjelaskan, telek atau tai kucing ini sudah ada sejak lebih dari satu abad yang lalu.
"Makanan telek atau tai kucing sudah ada lebih dari satu abad. Sumber yang paling tua yakni dari majalah 'Sasadara', majalah bulanan yang diterbitkan Radyapustaka 1901 sudah menulis mengenai tai kucing," terangnya saat dihubungi detikJateng, Sabtu (19/2/2022).
Camilan dengan bentuk mirip kotoran kucing ini, kata Heri, dikaitkan dengan kehidupan warga Tionghoa.
"Warga Tionghoa ini seneng ngeteh, kemudian camilannya adalah ting-ting tai kucing," ucapnya.
Masih kata Heri, mengenai sejarah telek kucing juga pernah disinggung dalam pewayangan.
"Dalam gelaran wayang kulit dalang punya lelagon/janturan atau cerita berkaitan dengan telek kucing di Solo berkaitan dengan teh, airnya diambil dari air Pengging, cangkirnya pakai gungging, pacitane (camilannya) ting-ting tai kucing," urainya.
Makanan ringan ini kemudian menjadi cukup populer dan juga disantap oleh masyarakat Jawa.
Sumber lain menyebutkan, penulis kenamaan Padmosusastro pada 1911 pernah membuat tulisan yang menyebutkan bahwa tai kucing ini bisa ditemukan di Pecinan.
"Jelas bahwa makanan ringan ini diproduksi oleh komunitas masyarakat Tionghoa dan ditemukan di Pecinan yaitu Pasar Gede," katanya.
"Ketika ingin belanja makanan telek kucing ya harus ke Pecinan. Kenapa makanan ini bisa bertahan? Karena tetap diproduksi dan konsumennya ada, dan makanan itu tidak hanya hidup dalam ritual tertentu, tetapi sehari-hari bisa juga menyantap makanan ini," sambungnya.
Terkait dengan nama yang terkesan jorok, Heri menyampaikan, penamaan itu hanya karena bentuknya yang mirip kotoran kucing. Selama ini orang Jawa memang tidak mau ambil pusing untuk memberikan nama pada makanan.
"Orang Jawa tidak mau ribet, orang Tionghoa tidak mau pusing masalah urusan nama. Makanya itu berdasarkan bentuk, misalkan seperti makanan lainnya turuk bintul, seperti kemaluan perempuan. Nyari gampangnya saja tidak ambil pusing dengan nama-namanya," pungkasnya.
Simak Video "Video: Jokowi Curiga Ada Agenda Besar Politik di Balik Isu Ijazah-Pemakzulan"
(mbr/aku)