Suku Dayak asal Kalimantan, dikenal memiliki teknik mengolah kuliner yang tak biasa. Mereka biasa melakukan fermentasi atau membusukkan daging hewan sebelum kemudian jadi kuliner khas setempat.
Sebagian wilayah di Kalimantan punya hewan endemiknya masing-masing. Di wilayah sekitar Kalimantan Utara dan Timur, masyarakat Suku Dayak Kenyah dan Dayak Malinau akrab dengan hewan payau atau rusa sambar. Hewan yang disebut sebagai rusa asli Indonesia terbesar itu, kerap diolah menjadi masakan khas masyarakat Dayak.
Rusa sambar atau payau termasuk yang terbesar di Indonesia, dibandingkan dengan tiga rusa asli Indonesia lainnya yakni Rusa Timor, Rusa Bawean, dan Kijang.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Payau memiliki nilai tersendiri dalam kehidupan masyarakat pedalaman, baik sebagai sumber pangan maupun bagian dari tradisi lokal. Meskipun begitu, kini payau sudah mulai jarang ditemui sebab populasinya mulai langka.
Mengenal Payau atau Rusa Sambar
![]() |
Dirangkum dari sosial media Pusat Penyuluhan BP2SDM Kementerian Kehutanan dan BKSDA Kalimantan Barat, payau, rusa sambar, rusa Kalimantan, atau dikenal memiliki nama lain sambar india (Cervus unicolor), adalah jenis rusa besar yang umum berhabitat di Asia. Payau dikenal merupakan rusa yang berukuran besar dengan ciri khas tubuh memiliki warna bulu kecokelatan, ada pula yang cenderung abu-abu dan kemerahan.
Payau dapat tumbuh setinggi 102-160 cm sampai bahu dengan berat hingga lebih dari 100 kg. Tak heran jika rusa ini disebut salah satu spesies rusa terbesar di Asia.
Payau mendiami sebagian besar Asia Selatan dengan batas sampai wilayah Himalaya. Selain itu dapat pula ditemukan di hutan tropis Burma, Thailand, Indocina, Semenanjung Malaya, Tiongkok Selatan (termasuk Hainan), Taiwan, serta di pulau Sumatra dan Kalimantan di Indonesia.
Diketahui penyebaran rusa sambar di Indonesia hanya terbatas di daerah Sumatera dan Kalimantan. Payau mendiami berbagai tipe hutan, dari dataran rendah hingga pegunungan.
Sama seperti rusa pada umumnya, habitat rusa sambar umumnya di hutan dan bergantung pada tanaman semak atau rerumputan sebagai sumber pakannya. Payau bergantung pada tumbuhan, umumnya hidup dalam kelompok dengan 5-6 anggota.
Tapi, payau termasuk hewan penyendiri. Ia lebih suka hidup soliter atau dalam kelompok kecil. Rusa jantan biasanya hanya akan muncul saat musim kawin untuk mencari betina.
Umumnya sang jantan lebih soliter atau suka menyendiri dibandingkan betina yang lebih suka berkelompok bersama betina lain dan anak-anak mereka.
Mereka aktif saat senja dan malam hari (nokturnal), sehingga tak mudah ditemukan di siang hari. Karena perilaku inilah, rusa sambar kerap disebut sebagai satwa yang anggun namun misterius, simbol kehati-hatian di alam liar.
Ciri-ciri Payau dan Pemanfaatannya Dulu
Ciri khas payau ialah tubuh besar dengan warna bulu kecoklatan, cenderung berwarna coklat ke abu-abuan atau kemerah-merahan, warna gelap sepanjang sebelah atas. Salah satu ciri khas rusa jantan adalah antler atau tanduk bercabang yang besar, kokoh, dan hanya tumbuh pada musim tertentu.
Rusa jantan memiliki ciri khas berupa tanduk yang dapat tumbuh hingga 1 meter, yang uniknya akan lepas sekitar setahun setelah tumbuh. Tanduk ini bukan hanya sebagai alat pertahanan, tetapi juga simbol keunikan yang dimiliki payau.
Tanduk payau jantan akan lepas secara berkala dan berganti dengan tanduk baru. Rusa sambar jantan akan mulai menumbuhkan tanduk saat berumur 1-2 tahun. Sedangkan, rusa betina siap bereproduksi saat berumur dua tahun.
Rusa sambar merupakan satwa yang sensitif sehingga selalu menjaga jarak terhadap manusia dengan segala aktivitasnya. Ukuran rusa sambar jantan biasanya lebih besar dari betina. Rusa sambar jantan memiliki surai tebal di lehernya dan tanduk dengan tiga hingga empat gigi.
Dulu, payau sering dimanfaatkan sebagai menu santapan bagi masyarakat Suku Dayak. Seperti yang pernah diunggah oleh beberapa konten kreator asal Kalimantan pada akun TikToknya, sebut saja Dewi Panda dan Norlela.
Payau kerap diolah menjadi kuliner khas Suku Dayak dengan cara dibusukkan. Sajian tersebut disebut Adam Anit (disebut juga uma lung atau adam faso), yakni masakan berbahan dasar kulit binatang yang difermentasi secara alami hingga membusuk.
Masakan tersebut dinamai Adam Anit yang artinya adam adalah busuk dan anit itu kulit. Selain menggunakan kulit payau, bisa juga dengan kulit sapi, atau babi hutan. Masakan ini merupakan favorit orang-orang tua pada zaman dahulu dan biasa disajikan saat panen raya atau pesta adat, namun kemudian jadi santapan sehari-hari warga Dayak.
Dewi Panda dan Norlela menunjukkan pada akun TikToknya masing-masing, bagaimana kulit payau dimasukkan dalam plastik berlapis dan dibusukkan atau didiamkan dalam 3-4 hari, kemudian dibersihkan dari bulu, dicuci, dipotong-potong, lalu direbus.
Kulit kemudian bisa ditumis menggunakan sayur singkong, bersama dengan garam, bawang merah, dan bawang putih. Bisa juga dengan cara dimasukkan ke dalam bambu lalu dibakar berulang kali.
Dalam videonya, Norlela mengaku bau kulit payau yang busuk akan sangat menyengat dan biasanya pada bagian luar plastik akan banyak belatung. Namun metode ini harus dilakukan agar bulu payau mudah rontok, mudah untuk dibersihkan, dan mendapatkan aroma masakan yang khas.
Populasi Payau Kini
Payau dulunya banyak ditemukan di hutan Kaltara, namun kini jumlahnya sudah sangat sedikit akibat perburuan bebas. Rusa Payau kini menjadi hewan yang dilindungi. Payau yang juga dikenal sebagai endemik khas Berau itu populasinya kini semakin berkurang.
Menurut IUCN Red List of Threatened Species, rusa sambar dikategorikan sebagai Vulnerable (Rentan) terhadap kepunahan sejak tahun 1996. Populasinya terus menurun akibat perburuan liar dan hilangnya habitat alami. Di beberapa wilayah, rusa sambar bahkan sudah sangat jarang terlihat di alam bebas.
Organisasi konservasi seperti WWF menyoroti pentingnya upaya pelestarian rusa sambar sebagai bagian dari ekosistem hutan tropis yang lebih luas. Keberadaannya terekam dalam budaya masyarakat adat yang menjunjung hubungan sakral dengan alam.
Rusa sambar atau payau menjadi salah satu jenis satwa yang dilindungi di Indonesia sesuai dengan Peraturan Menteri LHK No. P.106/MENLHK/SETJEN/KUM.I/12/2018 tentang Jenis Tumbuhan dan Satwa Dilindungi. Meskipun memiliki status konservasi berisiko rendah, tetapi warga setempat diminta menjaga kelestarian rusa tersebut.
Dasar perlindungannya terletak pada ketentuan Pasal 21 ayat (2) huruf a dan b LJU No. 5 Tahun 1990, setiap orang dilarang untuk melukai, membunuh, menangkap, memiliki, memelihara, menyimpan, mengangkut, memperniagakan satwa yang dilindungi dalam keadaan hidup. Barang siapa dengan sengaja melakukan pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (2) huruf a dan b LIU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistemnya dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp 100 juta.
Dalam banyak tradisi, rusa sering kali dianggap sebagai penjaga hutan, hewan yang tidak mengganggu tetapi juga tak mudah diganggu. Simbol rusa sambar juga diadopsi dalam berbagai kegiatan resmi, pariwisata, hingga program pelestarian lingkungan.
Pemerintah daerah mendorong kampanye konservasi satwa liar dan menjaga keberlanjutan hutan melalui edukasi publik dan kegiatan penghijauan. Semua ini berangkat dari filosofi rusa sambar, yaitu hidup berdampingan dengan alam dan menjaga sekitar.
Jika detikers melintasi kawasan Penajam Paser Utara (PPU) di Kalimantan Timur, juga akan kerap melihat simbol rusa sambar dengan tanduk besar pada lambang resmi pemerintah daerah. Satwa yang dilindungi tersebut diabadikan menjadi maskot resmi Kabupaten PPU.