Penghuni terakhir 'Kampung Mati' di Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) harus berjalan menyusuri perbukitan Menoreh demi bisa bersekolah. Hal ini ditempuh lantaran ketiadaan akses jalan yang layak.
Adalah Dewi Septiani (10) satu-satunya pelajar yang berasal dari Kampung Mati, Dusun Watu Belah, Kalurahan Sidomulyo, Kapanewon Pengasih, Kulon Progo. Siswa kelas III SD ini setiap hari berjalan kaki dari rumahnya di tengah hutan kawasan perbukitan Menoreh untuk bersekolah di SDN Kutogiri. Total jarak dari rumahnya ke SD tersebut berkisar 7 kilometer.
Setidaknya, Septi harus berjalan kaki terlebih dahulu sejauh 2 km hingga sampai titik di mana terdapat akses jalan bagi kendaraan. Setelah itu, Septi diantar oleh kakaknya Agus Sarwanto (23) ataupun ayahnya, Sumiran (49) menuju SDN Kutogiri menggunakan sepeda motor. Motor bebek lawas milik keluarga ini biasa dititipkan di rumah tetangga yang lebih dekat dengan akses jalan sebagai sarana antar jemput Septi.
Septi terpaksa jalan kaki karena akses dari rumahnya hingga jalan yang layak dilalui kendaraan merupakan jalur berbatu dengan tingkat kemiringan hingga 70 derajat. Medan ini tak memungkinkan kendaraan melintasi jalur tersebut, bahkan sepeda sekalipun.
"Iya harus jalan kaki, jalannya juga sulit jadi bikin capek," ucap Septi saat ditemui di rumahnya, Jumat (16/6/2023).
Hal itu membuat Septi harus bangun lebih pagi. Dia mengaku sering bangun pukul 05.00 WIB, untuk kemudian berangkat pukul 05.30 WIB. Meski begitu, dia mengaku sering telat masuk sekolah karena jauhnya jarak yang ditempuh.
"Iya, sering telat. Soalnya memang jalannya lumayan jauh. Bisa setengah jam lebih," ujarnya.
Sementara itu, ibu Septi, Sugiati menuturkan Septi selalu ditemani sang ayah maupun kakaknya dalam perjalanan menuju sekolah. Ini untuk memastikan anaknya baik-baik saja di jalan. Mengingat kondisi jalan yang ekstrem dan terkadang sering longsor ketika masuk musim penghujan.
"Kalau hujan itu sering digendong sama ayahnya, karena ayahnya enggak tega. Soalnya kan di jalan situ batunya sering jatuh ke bawah gitu. Jalannya juga licin," ucapnya.
Terjalnya jalur yang ditempuh juga membuat Septi sering gonta-ganti sepatu. Sugiati mengungkapkan anaknya biasa ganti sepatu setiap 3 bulan sekali lantaran kerap rusak.
"Minimal tiga bulan sekali pasti ganti sepatu karena sering rusak mas. Tapi ya mau gimana lagi karena memang jalan yang dilewati kaya gitu," ungkapnya.
Kendati demikian, Sugiati menyebut semangat anaknya untuk bersekolah tetap tinggi meski setiap hari harus menempuh medan yang ekstrim. Dia juga jarang mendapat keluhan dari sang anak perihal jalanan yang sulit itu.
"Nggak pernah ngeluh mas. Dia tetap ceria dan semangat sekolah. Karena dia itu punya cita-cita jadi guru melukis, jadi semangat buat sekolah," ucapnya.
Guru Wali Kelas III SD N Kutogiri, Yuliati, mengungkapkan anak didiknya itu termasuk pribadi yang ceria. Meski setiap hari harus berjalan kaki hingga 2 km untuk bersekolah, Septi selalu terlihat semangat di kelas.
"Luar biasa sekali ya karena dia tanpa menunjukkan rasa lelah sampai di sekolah, dia tetap ceria langsung bermain dengan teman-temannya. Bahkan ketika jam pulang itu dia merasa sedih, mungkin karena nanti di rumah teman-temannya sudah terbatas. Kalau di sekolah kan banyak temannya kalau di rumah nanti temannya ya sama orang tuanya itu," ucap Yuliati saat ditemui detikJateng di SDN Kutogiri, Jumat (16/6/2023).
Yuliati mengaku pada awalnya tidak menyangka jika rute perjalanan Septi menuju sekolah sesulit itu. Sebelumnya Yuliati hanya mendengar dari cerita Septi. Akhirnya dia coba membuktikan langsung bersama rekan-rekan guru.
Menurutnya rute yang ditempuh Septi tergolong ekstrem dan akan membuat siapapun yang mencobanya bakal ngos-ngosan.
Yuliati sempat mencoba rute harian Septi. Simak di halaman selanjutnya.
Simak Video "Video: Viral Momen Wakil Bupati Kulon Progo Perbaiki Sepatu Paskibraka"
(aku/aku)