Kampung Pitu, pitu merupakan bahasa Jawa yang artinya tujuh dalam bahasa Indonesia, adalah salah satu Kampung di Pedukuhan Nglanggeran Wetan, Kalurahan Nglanggeran, Kapanewon Patuk, Gunungkidul, DIY.
Kampung Pitu terletak di dataran tinggi tepatnya di sekitar puncak gunung api purba Nglanggeran. Untuk mencapai kampung tersebut terbilang cukup memakan waktu dan tenaga karena akses jalan corblok, tumpukan bebatuan, dan kebanyakan menanjak. Akses ke Kampung Pitu bisa dilalui sepeda motor dan mobil.
Sesampainya di Kampung Pitu, suasana lengang dan masih asri. Kampung tersebut menawarkan pemandangan alam yang memanjakan mata.
Beberapa rumah di kampung tersebut jaraknya berjauhan satu sama lain karena berada di perbukitan. Terlihat beberapa warga tengah duduk di depan rumah, ada juga yang sedang bertani di ladang. Ada beberapa warung kelontong yang menyediakan kebutuhan sehari-hari.
Salah satu warga Kampung Pitu, Surono (42) menjelaskan nama Kampung Pitu belum lama digunakan. Surono mengungkapkan jika dahulu kampung tersebut lebih dikenal dengan nama Kampung Telaga dan Kampung Gunung Wayang.
"Nama Kampung Pitu sebenarnya belum lama, itu baru 2014 kalau tidak 2015, dulu itu namanya Kampung Gunung Wayang atau Telaga," kata Surono saat ditemui detikJateng di rumahnya, Jumat (16/6/2023).
![]() |
Terkait sejarah Kampung Pitu, Surono menceritakan awalnya dari penemuan pohon kinah gadung wulung di kampung tersebut. Selanjutnya, pihak Keraton Jogja menggelar sayembara siapa yang mampu tinggal di wilayah tersebut.
"Dulu memang ada sayembara siapa yang mampu tinggal di wilayah Kampung Pitu ini diberi tanah secukupnya oleh pihak Keraton. Nah, dulu itu yang kuat hanya Mbah Iro Dikromo," ungkapnya.
"Saat itu Mbah Iro Dikromo disuruh menjaga pohon kinah gadung wulung, setiap hari dibersihkan dan dirawat terus. Lalu tiba-tiba hilang, tidak tahu entah ke mana pohon itu karena di dalam pohon tersebut ada benda pusakanya," lanjut Surono.
![]() |
Setelah berhasil memenangkan sayembara tersebut, kata Surono, Mbah Iro Dikromo tinggal di kampung tersebut hingga memiliki keturunan. Menurutnya, keturunan dari Mbah Iro Dikromo itulah yang tinggal di Kampung Pitu hingga saat ini.
"Nah, Mbah Iro Dikromo itu memiliki keturunan, sampai sekarang bapak saya generasi keempat, bapak saya namanya Redjo Dimulyo. Kalau Mbak Iro Dikromo itu asalnya dari Banyumas, Jawa Tengah," ujarnya.
Selengkapnya di halaman selanjutnya.
Surono mengungkapkan, jumlah KK yang menempati kampungnya hanya tujuh sehingga namanya menjadi Kampung Pitu. Terkait aturan hanya boleh tujuh KK yang tinggal di kampung tersebut, Surono mengaku hal itu sudah turun-temurun.
"Memang kalau aturan itu sebenarnya tidak ada. Tapi seingat saya itu ya belum pernah lebih dari tujuh (KK), lebih juga tidak pernah. Tujuh KK ini dibilang masih punya ikatan saudara semua," ujarnya.
![]() |
Akan tetapi, Surono mengatakan bahwa dari cerita ayahnya, Kampung Pitu pernah ditinggali lebih dari tujuh KK. Seiring berjalannya waktu pasti ada satu atau dua KK yang tidak betah dan berpindah tempat tinggal.
"Tapi cerita bapak dulu pernah ada 8 sampai 9 KK, tapi pasti salah satu ada yang tidak betah tinggal di sini. Dulu pernah ada dua kali kejadian, itu menurut sejarah dari bapak saya," ucapnya.
Saat ini, kata Surono, ada 32 jiwa dari 7 KK yang tinggal di Kampung Pitu. "Untuk jumlah rumah ada delapan tapi yang satu kosong," katanya.
![]() |
Lebih lanjut, Surono mengatakan semua warga Kampung Pitu bekerja sebagai petani. Menurutnya, dulu akses jalan menuju Kampung Pitu sangat susah.
"Semua warga di sini bertani. Kalau dulu ya susah di sini, contoh kalau mau ke warung harus jalan kaki sekitar satu kilo bahkan lebih. Karena mobil motor susah bisa masuk sini, mobil itu sekitar tahun 2000 lebih baru bisa," ujarnya.
Begitu pula dengan aliran listrik, Surono mengaku baru ada tiang listrik sekitar tahun 2014. Sebelumnya, warga harus mengambil listrik dari meteran yang berada sekitar tiga kilometer dari Kampung Pitu.
"Listrik juga susah dulu karena harus ambil dari bawah, meterannya di bawah dan jaraknya sekitar 3 kilometer. Terus aliran listrik masuk sini sekitar tahun 2014," ujarnya.
Oleh sebab itu, Suroni berharap Pemkab Gunungkidul atau instansi terkait membantu untuk memperbaiki akses jalan menuju Kampung Pitu.
"Harapan saya kalau bisa bantuan-bantuan sampai sini jangan hanya sampai bawah saja (wilayah di bawah Kampung Pitu). Karena di sini bisa dikatakan desa terpencil," imbuhnya.
(rih/rih)