Aktivitas vulkanik Gunung Merapi masih tinggi. Rentetan awan panas guguran tercatat puluhan kali sejak Sabtu (11/3) siang hingga Minggu (12/3).
Mengiringi peristiwa alam itu, muncul imajinasi netizen di media sosial soal bentuk kepulan asap erupsi Merapi mirip tokoh pewayangan Jawa, Petruk.
Rentetan Awan Panas Merapi
Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kebencanaan Geologi (BPPTKG) mencatat awan panas guguran Merapi dari Sabtu (11/3) pukul 12.12 WIB hingga Minggu (12/3) pukul 15.30 WIB mencapai puluhan kejadian.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Sampai saat ini sudah terjadi 54 kali kejadian awan panas guguran sampai dengan pukul 15.30 WIB. Semua kejadian awan panas guguran ini adalah ke arah Kali Bebeng atau Kali Krasak," kata Kepala Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kebencanaan Geologi (BPPTKG) Agus Budi Santoso dalam jumpa pers aktivitas terkini Merapi secara daring, Minggu (12/3/2023) sore.
Namun, dari data BPPTKG, intensitas kejadian awan panas pada Minggu (12/3) mulai menurun.
"Intensitas awan panas guguran yang paling tinggi yang terjadi kemarin siang, saat ini meskipun masih terjadi tapi intensitasnya menurun," bebernya.
Lebih lanjut, dalam dua hari sebaran abu vulkanik dampak awan panas guguran dominan ke arah barat-barat laut.
"Paling jauh dilaporkan terjadi hujan abu tipis di Kalibening, Banjarnegara, sekitar jarak 96 kilometer," jelasnya.
Status Merapi Masih Siaga
Hingga saat ini status Gunung Merapi masih pada tingkat Siaga atau level III sejak 5 November 2020. BPPTKG mengimbau masyarakat agar menjauhi radius bahaya yang sudah ditetapkan.
Pada sektor selatan-barat daya meliputi Sungai Boyong sejauh maksimal 5 kilometer; Sungai Bedog, Krasak, Bebeng sejauh maksimal 7 kilometer.
Pada sektor tenggara meliputi Sungai Woro sejauh maksimal 3 kilometer dan Sungai Gendol 5 kilometer. Sedangkan lontaran material vulkanik bila terjadi letusan eksplosif dapat menjangkau radius 3 kilometer dari puncak Merapi.
Imajinasi Netizen soal Petruk
Kepulan asap erupsi Gunung Merapi pada Minggu (12/3) pagi viral di media sosial karena netizen berimajinasi dengan bentuk kepulan awan tersebut. Dalam postingan akun Instagram @merapi_uncover, netizen ramai-ramai berimajinasi. Seperti dilihat detikJateng, Minggu (12/3), dalam unggahan di akun itu netizen ada yang berimajinasi dengan menggambar sosok semar dari kepulan asap itu.
Ada juga sosok aparat yang tengah memegang senjata, petruk, dan sosok abdi dalem Keraton. Bahkan dalam kolom komentar akun itu ada yang menyebut kepulan asap itu mirip Sirkuit Mandalika.
Pendapat Dosen ISI Jogja
Potret luncuran awan panas Gunung Merapi pagi tadi membentuk kepulan asap hingga memunculkan imajinasi menyerupai sosok Mbah Petruk yang viral di media sosial. Begini pendapat Kepala Program Studi (Prodi) Desain Komunikasi Visual (DKV) Institut Seni Indonesia (ISI) Jogja Daru Tunggul Aji terkait hal itu.
Selengkapnya di halaman selanjutnya.
Daru mengatakan dalam memandang sebuah foto ada beberapa hal yang saling terkait di benak si pemandang. Yang pertama adalah fakta peristiwa dan yang kedua adalah imajinasi.
"Jadi antara fakta peristiwa dan imaji si pemandang akan berpengaruh pada pola persepsi visual," kata Daru saat dihubungi wartawan, Minggu (12/3).
Meski demikian, apa yang dipersepsikan oleh si pemandang belum tentu dapat diklaim sebagai sebuah kebenaran. Karena dalam konsep memandang foto bersifat personal.
"Hal yang demikian bersifat sangat personal dan tidak dapat digeneralisir," ucapnya.
Selain itu, Daru menilai munculnya imajinasi terhadap bentuk kepulan asap tersebut karena kebiasaan masyarakat yang selalu menghubungkan bentuk asap erupsi Gunung Merapi dengan Mbah Petruk.
"Dalam kasus tersebut, masyarakat sudah lekat dengan anggapan bahwasanya kemunculan Mbah Petruk yang kerap dihubung-hubungkan dengan misteri di Gunung Merapi, terutama yang berkaitan dengan erupsi," ujarnya.
"Ini kembali lagi pada persepsi dan imajinasi masing-masing orang yang tentu saja tidak bisa digeneralisir," imbuh Daru.
Akan tetapi, mungkin jika orang yang memiliki latar belakang kebudayaan yang sama atau berasal dari komunitas yang sama, akan memiliki persepsi yang sama.
"Jadi lebih ke faktor kebudayaan yang dianut oleh seseorang, jadi juga berpengaruh dalam membangun persepsi ketika melihat sebuah karya foto," ujarnya.