Sekaten Jogja, Dulu dan Kini

Sekaten Jogja, Dulu dan Kini

Kesia Oktanoya Lini, Rizky Dafa Prasetyanto - detikJateng
Jumat, 07 Okt 2022 17:32 WIB
sekaten
Tradisi Sekaten di Keraton Jogja (Foto: Bagus Kurniawan/detikcom)
Jogja -

Sekaten merupakan tradisi memperingati kelahiran Nabi Muhammad SAW yang dilakukan oleh Keraton Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat (Jogja) dan Kasunanan Surakarta Hadiningrat (Solo). Tradisi ini sudah berlangsung sejak lama, bahkan beberapa rangkaian acaranya mengadopsi budaya zaman kerajaan Hindu.

Budayawan Jogja Ahmad Charris Zubair menceritakan sejarah Sekaten yang sudah ada sejak era Kerajaan Demak.

"Sekaten sendiri merupakan adopsi dari perayaan Hindu pada zaman Majapahit. Saat itu ada upacara sadra, yaitu penghormatan terhadap arwah. Ritual dan kelengkapan acara nya menggunakan gunungan yang diperebutkan rakyat. Majapahit kemudian runtuh dan berdiri kerajaan Demak (Islam) yang rajanya Raden Patah. Di Demak upacara sadra diadopsi upacara adat dan sebagainya, tetapi dikaitkan dengan kelahiran Nabi Muhammad yang diadakan pada bulan Rabiul Awal atau Mulud (istilah Jawa)," kata Charris saat diwawancarai detikJateng, Kamis (6/10/2022).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Charris melanjutkan, Sekaten mengalami dinamika seiring berjalannya waktu, bahkan sempat vakum hingga akhirnya kembali sewaktu Kerajaan Mataram Islam pecah menjadi dua usai Perjanjian Giyanti.

"Ketika Pajang berdiri Sekaten sudah tidak dilakukan lagi. Diteruskan Mataram Islam (Kotagede) juga tidak menyelenggarakan Sekaten. Kita masih belum tahu alasannya kenapa berhenti. Baru ketika Perjanjian Giyanti (zaman Pakubuwono III) 13 Februari 1755 muncul dua Keraton, di Yogyakarta dan Surakarta. Sejak itu Sekaten diadakan lagi dalam rangka maulid Nabi," jelas Charris yang juga dosen Filsafat UGM.

ADVERTISEMENT

Filosofi Kegembiraan pada Sekaten

Sekaten identik dengan gamelan yang dipakai dalam rangkaian tradisinya. Charris menjelaskan adanya filosofi di balik penggunaan perangkat gamelan ketika Sekaten.

"Sekaten kan dilakukan di masjid dengan cara mengundang masyarakat. Nah caranya dengan memukul gamelan, sehingga muncul bebunyian yang menarik perhatian masyarakat. Makanya ada gamelan yang khas untuk Sekaten itu. Di Keraton Jogja terdapat dua, Gamelan Kiai Guntur Madu dan Kiai Nogo Wilogo," terangnya.

Gamelan Kanjeng Kiai Nagawilaga dalam perayaan Sekaten.Gamelan Kanjeng Kiai Nagawilaga dalam perayaan Sekaten. Foto: dok laman resmi Keraton Jogja

Menurutnya, hakikat Sekaten dulu memang bertujuan untuk mendakwahkan ajaran Islam kepada masyarakat. Makna nama Sekaten juga memiliki nilai filosofis Islam.

"Sekaten sendiri berasal dari kata syahadatain atau dua kalimat syahadat. Pada masa Demak ya didakwahi oleh para wali khususnya Sunan Kalijaga," ucap Charris.

"Sekaten itu rangkaian miyos dan kondurnya (gamelan). Miyos untuk mengundang masyarakat dengan gamelan yang dibunyikan kemudian masyarakat didakwahi di masjid. Lalu saat kondur juga dilakukan gunungan dan udik-udik itu tadi," imbuhnya.

Seiring berkembangnya zaman, unsur atraktif untuk menarik perhatian masyarakat terhadap misi dakwah yang ada pada Sekaten semakin berkembang. Sehingga dibukanya pasar malam pun sewaktu itu juga untuk menarik perhatian masyarakat.

"Acara untuk menghimpun kegembiraan masyarakat maka dibukalah pasar malam yang waktu itu (di Jogja) letaknya di Alun-alun Utara dekat Keraton, sebelah timur masjid (Masjid Gedhe). Karena agar masyarakat tertarik mengikuti sesuatu kan ya salah satunya dengan diimingi kebahagiaan dulu. Namun sejak pandemi hingga kini pasar malam sudah tidak diadakan lagi. Kalau sekarang ya mungkin karena alun-alun sudah dipugar, dipagarin dan diisi pasir. Jadi tidak memungkinkan lagi ada pasar malam di situ," tutur Charris.

Media sosial ramai membicarakan penjualan virtual Alun-alun Utara Yogyakarta di situs nextearth.io. Bagaimana kondisi terkini di kawasan tersebut?Alun-alun Utara Jogja yang kini dipagar. Foto: Pius Erlangga/detikcom

Terakhir, Charris memiliki pesan bahwa tradisi Sekaten memang harus dilestarikan seiring berkembangnya zaman. Memang bentuk acaranya dapat berubah karena dinamika zaman, tetapi makna dakwah ajaran Islam, terutama juga dalam rangka memperingati kelahiran Nabi Muhammad SAW tak bisa lepas dari Sekaten.

"Hal tersebut (Sekaten) merupakan bentuk akulturasi. Tradisi tersebut diteruskan untuk melestarikan sejarah. Walaupun pada masa sekarang orang bisa mengetahui informasi dan menyaksikannya melalui media digital. Namun dulu kan untuk mengundang masyarakat bisanya cuma melalui kegembiraan. Ya pada intinya agar masyarakat datang untuk didakwahi itu tadi," pungkasnya.

Halaman selanjutnya, pasar malam tak lagi jadi bagian Sekaten?

Pasar Malam Tak Lagi Jadi Bagian dari Sekaten?

Rangkaian tradisi Sekaten tahun ini kembali digelar oleh Keraton Jogja. Namun kali ini pasar malam tak lagi menjadi bagian dari rangkaian Sekaten. Berbeda dengan dulu (sekitar lima tahun yang lalu) di mana pasar malam masih dianggap sebagai acara Sekaten, apalagi sewaktu itu masih dilaksanakan di Alun-alun Utara Jogja.

"Keraton tidak mengadakan pasar malam. Kalau Sekaten masih ada seperti miyos gongso, garebeg mulud, bedhol songsong, dan lainnya. Keraton kan sudah ada strukturnya Kawedanan Pengulon, nah mereka yang bertanggung jawab mengadakan Sekaten," kata Kabid Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat Satpol PP Kota Jogja Rikardo Putro Mukti Wibowo saat diwawancarai detikJateng beberapa waktu lalu.

"Kita (Satpol PP) yang bertugas membantu pengamanan dan ketertiban acaranya," imbuhnya.

Terkait adanya pasar malam yang diselenggarakan di eks kampus STIE Kerjasama Jalan Parangtritis Km 3 Sewon, Bantul, DIY saat ini, Edo menyebut bahwa acara tersebut bukan bagian dari rangkaian Sekaten Keraton.

"Wah tidak tahu kalau terkait itu. Sepertinya swasta yang mengadakan acara seperti itu," jelas Edo.

Pasar malam Sekaten Jogja 2022 digelar 16 September hingga 16 Oktober 2022 di eks kampus STIE Kerjasama, Jalan Parangtritis Km 3, Sewon, Bantul, DIY.Pasar malam nostalgia Sekaten Jogja digelar 16 September hingga 16 Oktober 2022 di eks kampus STIE Kerjasama, Jalan Parangtritis Km 3, Sewon, Bantul, DIY. Foto: Adji G Rinepta/detikJateng

Kemudian ia menceritakan bagaimana Sekaten tetap bertahan dari dulu dan pasar malam yang dulunya memang sempat menjadi bagian dari Sekaten.

"Keraton kan sudah tidak menghendaki adanya pasar malam, tidak ada tempatnya juga (ada revitalisasi Alun-alun Utara). Dulu memang digabung perayaan pasar malam dan Sekaten," ujarnya.

"Selama COVID kemarin (tradisi Sekaten Keraton) memang tidak terbuka untuk umum. Namun proses tradisi Sekaten memang tetap berjalan setiap tahunnya. Paling dulu cuma abdi dalem yang melaksanakannya. Sekarang sudah mulai terbuka lagi masyarakat boleh menyaksikan," pungkasnya.

Halaman 2 dari 2
(rih/aku)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads