Mengenang Alun-alun Utara Jogja Saat Belum Dipagar Seperti Saat Ini

Mengenang Alun-alun Utara Jogja Saat Belum Dipagar Seperti Saat Ini

Tim detikjateng - detikJateng
Rabu, 19 Jan 2022 16:05 WIB
Media sosial ramai membicarakan penjualan virtual Alun-alun Utara Yogyakarta di situs nextearth.io. Bagaimana kondisi terkini di kawasan tersebut?
Alun-alun Utara Jogja yang kini dipagar (Foto: Pius Erlangga/detikJateng)
Jogja -

Halaman depan Keraton Jogja terdapat Alun-alun Utara yang pernah berkembang menjadi pusat kegiatan masyarakat. Mulai kegiatan tahunan seperti Pasar Malam Perayaan Sekaten sampai konser musik kerap digelar di sini.

Tapi itu sebelum tahun 2020 saat Alun-alun Utara belum ada pagar besi yang mengitari. Saat ini kondisi Alun-alun Utara sudah dipagar rapat.

Sekretaris Forum Komunikasi Komunitas Alun-alun Utara (FKKAU) Krisnadi Setyawan menjelaskan Alun-alun Utara saat itu memang menjadi tempat berbagai aktivitas. Dengan latar Bangsal Pelataran serta patung dua naga, membuat background kegiatan kian menarik.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Alun-alun Utara tahun 2000-an awal menjadi pusat kegiatan acara apa pun. Dari mulai konser musik, Sekaten, sampai kegiatan kampanye partai politik juga digelar di sana," kata Krisnadi saat dihubungi detikJateng, Selasa (11/1/2022).

Anggota DPRD Kota Jogja dari Fraksi Gerindra ini mengungkapkan setiap kegiatan di Alun-alun Utara harus mengantongi minimal tiga izin. Pertama Keraton Jogja sebagai pemilik tempat harus memberikan izin terlebih dahulu.

ADVERTISEMENT

"Setelah mendapatkan izin dari Keraton, pemerintah dan kepolisian pasti akan memberikan izin," jelas Krisnadi.

Alun-alun Utara tak hanya menjadi tempat kegiatan masyarakat. Bahkan, di tempat ini pernah menjadi saksi dua peristiwa bersejarah dalam era terbaru. Pada 20 Mei 1998, melalui Pisowanan Agung, Raja Keraton Jogja Sri Sultan Hamengku Buwono X dan KGPAA Pakualam VIII memberikan maklumat dengan mengajak seluruh warga DIY mendukung reformasi.

Alun-alun Utara dengan ukuran luas 300 meter persegi menjadi tempat ribuan warga DIY untuk mendukung reformasi.

Tahun 2008, Alun-alun Utara kembali menjadi saksi pertemuan besar warga DIY. Saat itu, tak hanya warga DIY, beberapa tokoh nasional menggelar Pisowanan Agung untuk meminta Sri Sultan Hamengku Buwono X maju sebagai calon presiden (capres) 2009.

Alun-alun Utara Yogyakarta, Selasa (26/12/2017).Alun-alun Utara Jogja, Selasa (26/12/2017). Foto: Ristu Hanafi/detikcom

Kini, menurut Krisnadi, berbagai kegiatan yang mengumpulkan masyarakat dengan jumlah ribuan akan sulit dilakukan di Alun-alun Utara. Apalagi, kegiatan seperti Pasar Malam Perayaan Sekaten (PMPS) yang tiap tahun digelar Pemkot Yogyakarta sudah tak ada lagi.

"Mustahil bisa dilakukan. Karena semuanya tergantung dari pemilik Alun-alun Utara (Keraton)," katanya.

Terpisah, Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Sri Sultan Hamengku Buwono (HB) X sempat menyampaikan alasan pemasangan pagar Alun-alun Utara. Sultan menyebut pagar untuk mengembalikan bentuk asli mengingat dahulu kala Alun-alun Utara dipagari dengan tembok secara melingkar.

Media sosial ramai membicarakan penjualan virtual Alun-alun Utara Yogyakarta di situs nextearth.io. Bagaimana kondisi terkini di kawasan tersebut?Alun-alun Utara Jogja yang kini dipagar. Foto: Pius Erlangga/detikJateng

"Tujuannya kembali ke yang dulu, dulu awal itu Alun-alun (Utara) itu dipagari. (Sehingga ada) Tembok (jika) mau masuk Rotowijayan, Yudhanegaran, mau ke utara ke Kantor Pos itu dulu ada pintu gerbang semua," kata Sultan saat ditemui wartawan di Kantor DPRD DIY, (8/6/2020).

"Hanya karena berganti yang jumeneng (memimpin) dan zaman mungkin ya seperti sekarang. Tapi ya tidak perlu asli lah, ya pakai besi aja (untuk pagar)," imbuh Sultan.

Sehingga, nantinya masyarakat yang hendak masuk ke Alun-alun Utara harus melalui pintu yang terpasang di pagar.

"Tetap ada pintu, lha nanti kalau ada upacara untuk grebeg dan sebagainya kan," ucap Sultan.

Selanjutnya: sejarah Alun-alun Utara Jogja.

Mengutip website kratonjogja.id, keberadaan alun-alun dalam ruang lingkup kerajaan mulai ada semenjak zaman Majapahit. Alun-alun adalah manifestasi ruang publik, menjadi bagian tak terpisahkan dari tata ruang ibu kota kerajaan. Konsep ini kemudian diadaptasi oleh kota-kota di Indonesia, di mana sebuah ruang terbuka disediakan tepat di depan pusat pemerintahan.

Pangeran Mangkubumi, pendiri Kesultanan Yogyakarta, mahir dalam ilmu filsafat maupun arsitektur. Gabungan dari keahlian-keahlian inilah yang mewarnai struktur tata ruang Kesultanan Yogyakarta dengan simbol-simbol penuh makna.

Keraton Yogyakarta maupun bangunan-bangunan pendukungnya ditempatkan pada sebuah rangkaian pola, yang didasarkan pada sumbu filosofis, garis imajiner yang membentang lurus antara Tugu Golong Gilig dan Panggung Krapyak. Termasuk di antaranya dua alun-alun yang dimiliki oleh keraton, Alun-alun Selatan dan Alun-alun Utara.

Alun-alun Utara membentang seluas 300 meter persegi. Di tengahnya berdiri dua buah beringin kurung yang bernama Kiai Dewadaru dan Kiai Janadaru (yang sekarang bernama Kiai Wijayadaru). Menurut Serat Salokapatra, benih Kiai Janadaru berasal dari Keraton Pajajaran, sementara Kiai Dewadaru benihnya berasal dari Keraton Majapahit.

Kiai Dewadaru berasal dari kata dewa yang berarti Tuhan dan ndaru yang berarti wahyu. Pohon ini berada di sebelah barat dari garis sumbu filosofis. Bersama-sama dengan Masjid Gedhe yang juga berada di sebelah barat garis sumbu filosofis, pohon ini memberi gambaran hubungan manusia dengan Tuhan-nya. Penempatan ini adalah wujud bagaimana Sri Sultan Hamengku Buwono I secara cerdas menggambarkan konsep Islam habluminallah.

Sementara Kiai Janadaru yang bermakna lugas pohon manusia, bersama dengan Pasar Beringharjo, berada di sisi timur dari sumbu filosofis. Hal ini melambangkan hubungan manusia dengan manusia, sebuah konsep Islam hablumminannas.

Pada sisi utara dan sisi selatan, berdiri juga sepasang pohon beringin. Beringin di utara bernama Kiai Wok dan Kiai Jenggot, sedang yang di selatan bernama Agung dan Binatur.

Sebagaimana Alun-alun Selatan, seluruh permukaan Alun-alun Utara juga ditutup dengan pasir lembut. Hal ini merupakan penggambaran laut tak berpantai yang merupakan perwujudan dari kemahatakhinggaan Tuhan. Maka secara keseluruhan, makna alun-alun beserta kedua pohon beringin di tengahnya menggambarkan konsepsi manunggaling kawula Gusti, bersatunya raja rakyat dengan raja dan bertemunya manusia dengan Tuhan.

Terdapat 62 pohon beringin mengelilingi Alun-alun Utara. Beserta dua beringin di tengah, total terdapat 64 pohon beringin. Jumlah ini menggambarkan usia Nabi Muhammad SAW ketika beliau meninggal dalam perhitungan Jawa.

Pada masa lalu, Alun-alun Utara dikelilingi oleh pagar batu bata dan selokan. Air selokan ini dapat digunakan untuk menggenangi alun-alun saat dibutuhkan. Di antara pohon beringin yang berjajar, terdapat beberapa bangunan bernama Bangsal Pekapalan. Pekapalan, berasal dari kata kapal yang berarti kuda. Secara harfiah pekapalan berarti tempat penambatan kuda. Bangsal Pekapalan merupakan tempat berkumpulnya para bupati maupun pejabat yang lebih tinggi. Selain Pekapalan, terdapat bangsal lain di pinggir alun-alun, yaitu Bangsal Pangurakan dan Bangsal Balemangu.

Bangsal Pangurakan terdapat di sisi utara, berjumlah dua dan mengapit jalan. Fungsinya sebagai tempat ngurak, mengusir warga yang tidak taat pada aturan. Selain itu, Bangsal Pangurakan juga digunakan untuk menyimpan senjata. Setiap hari, bangsal ini dijaga oleh Abdi Dalem Geladhag.

Bangsal Balemangu juga berjumlah dua, letaknya mengapit gerbang menuju Masjid Gedhe. Bangsal ini digunakan sebagai tempat untuk pengadilan agama.

Selain sebagai tempat berlangsungnya acara-acara yang diadakan Kesultanan Yogyakarta, Alun-alun Utara juga menjadi tempat jika ada masyarakat yang ingin mengadukan persoalan kepada Sultan. Rakyat yang merasa diperlakukan tidak adil akan berpakaian putih, duduk di bawah panas matahari (pepe) di tengah alun-alun hingga Sultan melihat dan memanggilnya. Praktik mengadukan nasib di bawah sengatan matahari ini disebut laku pepe atau tapa pepe.

Alun-alun yang membentang di muka Keraton Jogja maupun yang berada di pungkuran, bukanlah semata ruang terbuka untuk menampung segala akitivitas khas warga kota seperti yang terlihat saat ini. Kehadiran alun-alun ini memenuhi berbagai fungsi dan peran keraton sebagai pusat pemerintahan. Ruang terbuka luas ini menjadi perangkai berbagai elemen kawasan di sekitarnya, baik secara tata ruang maupun secara sosial. Misalnya antara keraton dan Masjid Gedhe, atau antara Sultan dan rakyatnya.

Halaman 2 dari 2
(rih/mbr)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads