Pada 7 Oktober 1945, atau tepat 77 tahun yang lalu, terjadi peristiwa bersejarah di kawasan Kotabaru, Kota Jogja. Saat itu terjadi peristiwa serbuan atau pertempuran Kotabaru yang melibatkan rakyat Indonesia.
Serbuan Kotabaru adalah salah satu upaya gerakan bersenjata yang pertama dilakukan oleh rakyat Indonesia setelah proklamasi kemerdekaan. Serbuan ini bertujuan untuk merebut senjata pasukan Jepang yang masih berada di Jogja.
Dikutip dari kebudayaan.kemdikbud.go.id, menurut catatan pelaku sejarah R.P. Soedarsono yang pada waktu itu menjabat sebagai komisaris polisi, terdapat berbagai peristiwa, termasuk Serbuan Kotabaru di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) setelah Proklamasi.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tanggal 31 Agustus 1945 malam hari, R.P. Soedarsono didatangi oleh Sujatno dari Solo. Malam itu beberapa kawan dari Jogja seperti Sumantoro, Ir. Sardono Dipokusumo, Mr. Sudarisman Purwokusuma, menyanggupi akan memberikan bantuan untuk membuat maklumat yang disiarkan melalui Kedaulatan Rakyat tanggal 1 September 1945 untuk menyerobot kekuasaan Tyokan. Pada tanggal 1 September 1945 itu R.P. Soedarsono terpilih sebagai ketua Dewan Pimpinan bekas kantor Kotyi.
Tanggal 12 dan 13 September 1945, bersama beberapa pengurus KNI (Komite Nasional Indonesia) menyiapkan kekuatan bersenjata yang terdiri atas Polisi Istimewa dan laskar rakyat untuk menghadapi serdadu Jepang yang bermaksud menurunkan bendera Merah Putih di kantor Tyokan Kantai, sekarang Gedung Negara. Tanggal 14 September 1945 R.P. Soedarsono terpilih sebagai Ketua Gabungan Pegawai Negeri daerah Jogja. Tanggal 22 September 1945 R.P. Soedarsono berhasil mempertahankan pelucutan senjata yang dilakukan oleh Jepang atas Polisi Kota dan Polisi Istimewa.
Baca juga: Jejak Berdarah 'Lubang Buaya Jogja' |
Tanggal 25 September 1945 bersama beberapa anggota Dewan Pimpinan bekas kantor Kotyi: dr. Sjamsudin, Ir. Ali, Kyai Adjid, Adam Basari, Latjuba, Budiman, Abdul Karim, Danu Warsito, dan Kartono serta R.P. Soejono dapat menyelesaikan hal-hal yang berkaitan dengan pelucutan senjata itu.
Tanggal 6 Oktober 1945 dari jam 19.00 hingga jam 03.00 pagi bersama dengan Ketua KNI Moh. Safeh dan pengurus BKR (Badan Keamanan Rakyat) Sundjojo, Umar Djoy, dan Sukardi berunding dengan Sihata Tjihanbuto dan Asoka Butaitjo untuk meminta senjata dari Butai Kotabaru. Perundingan ini gagal. Akhirnya R.P. Soedarsono mengulangi sekali lagi permintaannya agar Butaitjo Mayor Otzuka rela menyerahkan senjatanya ke pihak Indonesia.
Saat perundingan sedang berlangsung ratusan rakyat dan pemuda yang digerakkan oleh KNI, BPU, BKR, dan Polisi menuju ke Kotabaru. Berbagai macam senjata yang mereka miliki seperti golok, tompak, keris, bambu runcing, maupun senjata senapan dipergunakan dalam usahanya mengepung markas Jepang ini dengan semangat yang menyala-nyala.
Halaman selanjutnya, pertempuran meletus...
Pertempuran tak dapat dihindarkan, bersamaan dengan padamnya penerangan di sekitar Butai Kotabaru dengan diawali letusan granat dan senapan, massa rakyat dan pemuda menyerbu. Teriakan-teriakan yang terdengar "siap maju" dan "gempur". Pertempuran berlangsung sangat seru. Jepang mengadakan perlawanan dan memuntahkan tembakan-tembakan mitraliur ke massa penyerbu. Pertempuran akhirnya makin mengendor dan pukul 10.30 siang hari tanggal 7 Oktober 1945 berkibarlah bendera Merah Putih di atas markas tentara Jepang, Butai Kotabaru menyerah.
Pertempuran Kotabaru ini ternyata memberikan arti yang besar untuk terhadirnya semangat membela tanah air khususnya di kalangan pemuda di Jogja. Tidak demikian bagi militer Jepang, pertempuran Kotabaru yang mengakibatkan tewasnya 9 orang Jepang dan 15 luka-luka melemahkan semangat orang-orang Jepang baik yang ada di Pingit maupun di Gentan.
Pada hari itu berhasil juga ditawan 1.100 orang Jepang beserta perlengkapan yang mereka miliki. Hasil rampasan berupa senjata dan amunisi ternyata dapat melengkapi kekuatan BKR untuk memikul tugas membela negara. Peristiwa Kotabaru rupanya memperlancar berbagai aksi pelucutan senjata pasukan Jepang yang ada di Jogja.
Kaigun di Maguwo juga berhasil dilucuti, sehingga secara otomatis pemerintah daerah dapat bekerja dengan lancar tanpa halangan. Tanggal 7 Oktober setelah terjadi pertempuran Kotabaru wakil R.A.F (Royal Air Force), yakni kopral Francis ditugaskan mengawasi lapangan terbang itu. R.P. Soedarsono berhasil mendekati dan mengadakan perundingan dengan mayor Hajino Sosya untuk secara baik-baik bersedia menyerahkan senjata mereka.
Usaha ini berhasil, sebanyak 15 truk senjata api seberat kurang lebih 25 ton beserta ratusan peti granat tangan diserahkan ke pihak pemerintah Republik Indonesia. Dengan kejadian ini, berakhirlah riwayat kekuatan Jepang di daerah Jogja atau DIY.
Halaman selanjutnya, Monumen Serbuan Kotabaru dan Masjid Syuhada...
Monumen Serbuan Kotabaru
Dikutip dari pariwisata.jogjakota.go.id, Monumen Serbuan Kotabaru diresmikan pada tanggal 7 Oktober 1988 oleh Sri Sultan Hamengku Buwono IX untuk memperingati Peristiwa Serbuan Kotabaru. Monumen ini terletak di dalam Kompleks Perumahan TNI AD Kotabaru.
Serbuan Kotabaru mempelopori berbagai macam gerakan bersenjata di daerah lain untuk mengusir Jepang dari Indonesia. Serbuan Kotabaru memang tidak sepopuler Serangan Oemoem 1 Maret atau Jogja Kembali, namun Serbuan Kotabaru menjadi salah satu pelopor aksi perlawanan dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia.
"50 hari setelah peristiwa Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia" tertera pada salah satu sisi Monumen Serbuan Kotabaru. Pada sisi lain tertulis "Tetenger ini didirikan untuk memperingati puncak pengambil alihan kekuasaan dari Pihak Jepang di Yogyakarta dengan serbuan bersenjata dan pertumpahan darah yang dikenal sebagai Pertempuran Kotabaru pada tanggal 7 Oktober 1945".
Tulisan yang terdapat pada Monumen Serbuan Kotabaru menjadi bukti adanya perjuangan yang terjadi. Dengan simbol dua buah bambu runcing pada salah satu sisinya dan dua sisi lainnya tertera tulisan dengan nama para pejuang yang gugur di medan pertempuran Kotabaru, semakin menegaskan bahwa monumen ini sarat akan kisah-kisah heroik.
Masjid Syuhada
Dikutip dari kotabarukel.jogjakota.go.id, untuk mengenang jasa para pahlawan yang gugur syahid mempertahankan proklamasi kemerdekaan RI terutama pada pahlawan Serbuan Kotabaru 7 Oktober 1945, dibangun masjid bernama Syuhada yang berarti pejuang atau pahlawan yang telah gugur dalam perjuangan. Pembangunan Masjid Syuhada di Kotabaru dimulai pada tahun 1950 dan pada saat peresmiannya 20 September 1952 dihadiri oleh Presiden Ir. Soekarno. Masjid tersebut merupakan tanda cinta Republik kepada Jogja atas penggabungan Jogja ke NKRI dan sempat menjadi Ibu Kota sementara Indonesia.