Sejarah Jalan Malioboro yang Dulunya Maliyabara, Nama hingga Filosofinya

Sejarah Jalan Malioboro yang Dulunya Maliyabara, Nama hingga Filosofinya

Heri Susanto - detikJateng
Minggu, 24 Jul 2022 10:29 WIB
Wisatawan berada di kawasan Malioboro, Yogyakarta, Kamis (10/2/2022). Berdasarkan surat edaran nomor 430/1.31/SE Disbud/2022 tentang Pelaksanaan Penataan Kawasan Khusus Pedestrian Jalan Malioboro dan Jalan Margo Mulyo, Pedagang Kaki Lima (PKL) dilarang melakukan aktivitas jual beli di sepanjang lorong jalan serta pemindahan barang di Teras Malioboro I eks Dinas Pariwisata DIY dan Teras Malioboro II eks Gedung Bioskop Indra. ANTARA FOTO/Hendra Nurdiyansyah/foc.
Wajah Jalan Malioboro Jogja. (Foto: ANTARA FOTO/Hendra Nurdiyansyah)
Yogyakarta -

Jalan Malioboro jadi salah satu lokasi paling ikonis sekaligus penting di Jogja. Ternyata keberadaan Jalan Malioboro yang kini menjadi daya tarik wisatawan ini sudah sejak ada bersamaan dengan berdirinya Keraton Jogja.

"Jalan Malioboro itu memang jalan utama masuk ke Keraton. Pembangunannya tentu bersamaan dengan Pembangunan Keraton sekitar tahun 1755," kata Budayawan Ahmad Charis Zubair, saat dihubungi detikJateng, Jumat (22/7/2022).

Charis mengungkap nama Malioboro sudah digunakan sejak awal berdirinya jalan tersebut. Saat itu sang pendiri Keraton Jogja yaitu Pangeran Mangkubumi atau Sri Sultan Hamengku Buwono I sudah memberi nama jalan tersebut Malioboro.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Hanya saja ejaannya menggunakan huruf Y atau Maliyabara," katanya.

Malioboro disebut tidak sekedar nama. Charis menjelaskan nama tersebut merupakan bagian dari sumbu filosofi yaitu dari Tugu Jogja, Jalan Margoutomo, Jalan Maliyabara, dan Jalan Margomulya.

ADVERTISEMENT

"Maknanya dari Tugu Golong-gilig atau Tugu Pal Putih ke arah selatan merupakan perjalanan manusia menghadap Tuhannya atau Sangkan Paraning Dumadi. Golong-Gilig melambangkan cipta, rasa, dan karsa yang dilandasi kesucian hati di warna putih," jelasnya.

Kemudian, kata Charis, melalui Margatama atau jalan keutamaan ke selatan melalui Jalan Maliyabara yang berarti keteguhan hati. "Ke selatan mendapatkan kemuliaan di Jalan Margomulyo, dan berakhir dengan pangurakan atau mengusir nafsu negatif," katanya.

Namun, lanjut Charis, ada sebuah argumen yang menyebut nama Malioboro diambil dari salah satu nama gedung milik Kolonial Belanda yakni Malborough.

"Tapi itu tidak ada pendukung datanya sampai saat ini. Akhirnya yang benar ya memang Malioboro ini sudah ada sejak awal berdirinya Keraton dengan arti keteguhan hati," jelas Budayawan dari Kotagede ini.

Dalam perkembangan awal, kata Charis, konsep Jalan Malioboro memang merupakan pusat perekonomian. Hal itu terlihat dari keberadaan Pasar Beringharjo sebagai bagian dari catur gatra tunggal.

"Memang awalnya bagian dari Catur Gatra Tunggal atau empat unsur sebuah kota ada istana kerajaan, alun-alun, masjid, dan pasar," katanya.

Simak penjelasan tentang Malioboro dikaitkan dengan Pasar Beringharjo dan Kepatihan di halaman berikutnya...

Kemudian, lanjut Charis, Patih Danurejo saat itu berkantor di Kepatihan yang saat ini menjadi kantor Gubernur DIY. Patih Danurejo memberikan izin kepada abdi dalemnya berjualan di Pasar Beringharjo.

"Berkembang lagi saudagar-saudagar dari Kotagede diminta untuk berjualan di sana ya akhirnya berkembang dengan sangat pesat menjadi pusat ekonomi," jelasnya.

Dari semua kisah perjalanan Malioboro itu, Charis berharap Pemerintah Daerah (Pemda) DIY membuatkan sebuah narasi penjelasan mengenai makna filosofi Malioboro dan sejarahnya.

"Ya memang menurut saya, sebelum diusulkan ke Unesco sebagai warisan budaya dunia perlu ada penjelasan mengenai makna filosofi dan sejarah perjalanan. Ini agar masyarakat atau wisatawan memahami Malioboro secara utuh," sarannya.

Halaman 2 dari 2


Simak Video "Pemanfaatan Terhalang Oleh Ormas Yang Belum Termediasi"
[Gambas:Video 20detik]
(sip/sip)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads