Ombudsman Republik Indonesia (ORI) Perwakilan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) menelusuri soal aduan adanya dugaan pungutan berkedok sumbangan di salah satu SMK negeri di Kota Jogja. Begini tanggapan Dinas Pendidikan, Pemuda, dan Olahraga (Disdikpora) DIY.
Kepala Disdikpora DIY Didik Wardaya menjelaskan sesuai dengan peraturan yang berlaku, larangan sekolah negeri adalah memungut biaya bagi siswa. Tapi berbeda dengan sumbangan.
"Kalau pungutan memang tidak diperkenankan ya. Kalau menerima sumbangan masih boleh," kata Didik saat dimintai konfirmasi wartawan, Rabu (14/9/2022).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Didik menjelaskan, karena sumbangan masih mendapatkan lampu hijau, pihaknya saat ini tengah menggodok peraturan. Regulasi berbentuk Peraturan Gubernur (Pergub) ini akan menjadi pedoman SMA/SMK negeri di DIY dalam membuka sumbangan dari orang tua siswa.
"Ini baru kita siapkan regulasinya. Baru ajukan Pergub mudah-mudahan dalam waktu dekat sudah keluar," jelasnya.
Sementara soal larangan untuk pungutan di sekolah negeri, kata Didik, sebenarnya sudah diatur dalam Peraturan Daerah (Perda) No 10 tahun 2013. Itu pun hanya berlaku untuk pendidikan dasar.
"Ya kalau pungutan di dalam Perda 10 Tahun 2013 pendidikan dasar tidak boleh. Ada Peraturan Menteri," jelasnya.
Begitu pun dengan sumbangan, Didik menambahkan, karena DIY rata-rata wajib belajar 12 tahun, hanya sumbangan yang masih memungkinkan diterima sekolah.
"Menuju wajib belajar 12 tahun masih memungkinkan dengan sumbangan. Wajarnya di dalam UU 9 tahun. Di DIY wajib belajar 12 tahun," jelasnya.
Diberitakan sebelumnya, Ombudsman Republik Indonesia (ORI) Perwakilan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) menelusuri adanya dugaan pungutan berkedok sumbangan di salah satu SMK negeri di Kota Jogja. Penelusuran dilakukan setelah adanya aduan dari masyarakat ke ORI DIY.
"Ada masyarakat yang datang ke ORI DIY, menyampaikan adanya dugaan permintaan dana di SMKN 2 Yogya," kata Asisten Pemeriksaan Laporan ORI DIY Muhammad Rifki ditemui di kantornya, Rabu (14/9).
Rifki mengatakan, besaran pungutan itu mencapai Rp 5 juta per siswa. Pungutan ini disebut merupakan kebijakan dari sekolah maupun dari komite sekolah.
Selengkapnya di halaman selanjutnya...
"Besarannya sekitar Rp 5 jutaan, ini memang menjadi kebijakan dari sekolah maupun dari komite sekolah. Ini masyarakat yang menyampaikan ke kami merasa keberatan dengan adanya kebijakan sehingga menginginkan adanya penelusuran dari Ombudsman," urainya.
Menurut Rifki, dalam Permendikbud No 75 Tahun 2016, komite sekolah dilarang mengambil pungutan ke orang tua siswa. ORI, lanjut Rifki, dalam waktu dekat akan melakukan penelusuran ke sekolah untuk memastikan apakah benar ada unsur pungutan atau tidak.
"Pungutan itu kalau cirinya ada nominalnya ada batas waktunya dan juga tidak bersifat sukarela atau bersifat wajib itu tidak diperbolehkan. Jadi nanti dalam penelusuran kami kalau ditemukan unsur itu, itu sesuatu yang tidak diperkenankan," ujarnya.
Sementara itu, Robani dari Lembaga Sarang Lidi mengaku mengadukan adanya dugaan pungutan itu ke ORI DIY. Dia mengatakan pungutan itu masih dalam tahap wacana. Namun dalam rapat yang diadakan oleh komite sekolah, tetap berkukuh agar ada uang pungutan.
Pihak komite sekolah, menurut Robani, beralasan bahwa pungutan itu diatur dalam PP 48 Tahun 2008 Pasal 47 dan bukan menggunakan regulasi Permendikbud No 75 Tahun 2016.
Adapun nominal uang pungutan menurut Robani yakni sebesar Rp 5 juta dengan rincian uang pendidikan sekolah itu Rp 150 ribu yang dibayarkan 12 kali. Lalu sumbangan pribadi Rp 450 ribu dan untuk uang pembangunan yang awalnya Rp 3 juta turun jadi Rp 2,75 juta.
"Jadi totalnya dari Rp 5,25 juta jadi Rp 5 juta itu wacana di forum ya yang disampaikan oleh paparan kepala sekolah tapi itu bersama komite," ungkap Robani.
"Ini yang jadi kita protes ke Ombudsman agar intinya kita lapor di sini untuk laporan awal," pungkasnya.