Ini Kesimpulan ORI DIY Soal Kasus Pemaksaan Hijab di SMAN 1 Banguntapan

Ini Kesimpulan ORI DIY Soal Kasus Pemaksaan Hijab di SMAN 1 Banguntapan

Jauh Hari Wawan S - detikJateng
Jumat, 12 Agu 2022 19:46 WIB
SMAN 1 Banguntapan, Bantul, DIY, Senin (8/8/2022).
SMAN Banguntapan, Bantul. Foto: Pradito Rida Pertana/detikJateng
Sleman -

Ombudsman Republik Indonesia (ORI) Perwakilan DIY mengumumkan hasil akhir temuan dan kesimpulan terkait kasus pemaksaan hijab di SMAN 1 Banguntapan Bantul. Kesimpulan beserta saran yang disusun dalam laporan setebal 40 halaman itu juga telah disampaikan ke Disdikpora DIY.

Kepala ORI DIY Budhi Masturi menyimpulkan telah terjadi pemaksaan pemakaian jilbab kepada siswi berinisial SP yang dilakukan oleh koordinator BK SMAN 1 Banguntapan Bantul.

"Kami berpendapat bahwa tindakan koordinator guru BK memakaikan jilbab kepada SP di ruang BK yang disaksikan dan dibantu oleh guru BK kelas 10 IPS 3 dan Wali Kelas 10 IPS 3 pada 20 Juli 2022 adalah bentuk pemaksaan," kata Budhi di kantornya, Jumat (12/8/2022).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Ia melanjutkan, pemaksaan pemakaian hijab itu menyebabkan runtuhnya harga diri SP. Itu didapatkan dari bukti-bukti yang selama ini telah dikumpulkan oleh ORI. Termasuk dari hasil pendampingan psikolog.

"Bahkan karena hal tersebut menjadi faktor penting di samping faktor-faktor lainnya, seperti pertanyaan terkait jilbab yang terjadi berkali-kali sesuai penjelasan guru BK seperti sebagainya. Dan ada diskrinsut dan sebagainya jadi pemakaian itu menyebabkan runtuhnya harga diri SP. Dan secara psikologis telah memenuhi kategori sebagai tindakan perundungan. Ini kita dapat dari psikolog," terangnya.

ADVERTISEMENT

"Pemaksaan dan perundungan terhadap SP terkonfirmasi dari hasil assesment psikolog KPAID Kota Yogyakarta yang berkesimpulan bahwa ditemukan unsur pemaksaan ditandai dengan reaksi tubuh SP baik fisik maupun psikis," sambungnya.

Ia melanjutkan, penyebab utama dari reaksi fisik dan psikis yang dialami oleh SP tersebut adalah kejadian-kejadian selama di sekolah, bukan di rumah.

"Jadi ini nggak terkait langsung dengan persoalan keluarga. Ada konsistensi hasil asesmen psikolog. Dan ini konsisten juga dengan WA-nya. Dan dia tidak cerita rumah tangga orang tuanya," bebernya.

Kejadian-kejadian tersebut beberapa di antaranya menjelaskan tentang relasi kuasa guru dan murid. Walaupun dari penjelasan guru BK, bahwa siswi tersebut mengiyakan dan mengangguk namun ekspresi wajah siswi itu datar.

"Hal ini antara lain dapat dilihat dari rekaman video CCTV yang menggambarkan ketidakberdayaan si anak akibat relasi kuasa ketika SP dipakaikan jilbab," ungkapnya.

Selain itu, dalam rekaman CCTV tampak siswi itu setelah dipakaikan hijab tampak menerima tisu untuk menyeka sesuatu. Di saat hampir bersamaan guru BK kelas dan wali kelas memeluk dan menepuk pundak siswi itu seperti sedang menenangkannya.

Belakangan diketahui jika setelah dipakaikan hijab, siswi itu menangis.

"Kemudian kami mengonfirmasi kejadian tersebut ke anaknya melalui orang tuanya. Hasil konfirmasinya adalah benar saat itu dia menangis. Dan menyeka air mata dengan tisu yang diberikan tersebut. Jadi menangis ternyata hal yang tidak belum ditemukan selama ini. Jadi anak itu ketika dipakaikan kerudung menangis," ungkapnya.

Kesimpulan lainnya di halaman selanjutnya

Merujuk dari hasil asesmen psikolog KPAID Kota Yogyakarta, secara fisik tubuh SP mengalami penurunan di pectoralis major clavikurqlis PMC di lambung. Ini menandakan kondisi tertekan akibat hal yang dialaminya dan menjadi penyebab runtuhnya harga diri, dalam istilah psikologi.

"Kondisi runtuhnya harga diri inilah menentukan adanya perundungan. Selain itu reaksi tubuh SP secara psikis juga menjelaskan dari hasil asesmen tersebut mengkonfirmasi terjadinya pelemahan atau penurunan di 4 wilayah psikis emosi," jelasnya.

Lebih lanjut, dampak fisik dan psikis yang ditemukan psikolog KPAID Kota Yogyakarta sebagai reaksi atas adanya pemaksaan dan perundungan hampir sama dengan dampak yang ditimbulkan dalam definisi tindak kekerasan di lingkungan satuan pendidikan. Sebagaimana diatur dalam pasal 1 dan pasal 6 Permendikbud No 82 tahun 2015.

"Pemakaian jilbab kepada SP dan tindakan lainnya di sekolah yang menyebabkan dirinya mengalami atau terjadi reaksi yang menggambarkan menurunya kondisi fisik dan psikis dan runtuhnya harga diri adalah merupakan kekerasan terhadap anak karena mengandung unsur paksaan dan perundungan," tegasnya.

Budhi melanjutkan, Perbuatan tersebut adalah tindakan maladministrasi dalam pelayanan publik karena melawan hukum fide pasal 1 angka 3 UU No 37 tahun 2008 tentang Ombudsman RI dan juga bertentangan dengan UU 35 tahun 2014 Peraturan Pemerintah nomor 78 tahun 2021 dan Permendikbud nomor 82 tahun 2015.

Selain itu hal tersebut juga merupakan tindakan tidak patut dalam memberikan pelayanan publik fide peraturan Ombudsman Nomor 26 tahun 2017 tentang tata cara penerimaan pemeriksaan laporan.

Halaman 2 dari 2


Simak Video "Video Daftar Peraih detikJateng-Jogja Awards' Figur Akselerator Pembangunan'"
[Gambas:Video 20detik]
(ahr/ahr)


Hide Ads