Petani Nanggulan Belajar Ilmu Titen Kekinian Antisipasi Imbas Cuaca Ekstrem

Petani Nanggulan Belajar Ilmu Titen Kekinian Antisipasi Imbas Cuaca Ekstrem

Jalu Rahman Dewantara - detikJateng
Kamis, 24 Mar 2022 15:53 WIB
Para petani saat mengikuti Sekolah Lapang Iklim (SLI) Tematik 2022 di Wijimulyo, Nanggulan, Kulon Progo, DIY, Kamis (24/3/2022).
Para petani saat mengikuti Sekolah Lapang Iklim (SLI) Tematik 2022 di Wijimulyo, Nanggulan, Kulon Progo, DIY, Kamis (24/3/2022). (Foto: Jalu Rahman Dewantara/detikJateng)
Kulon Progo -

Sebanyak 60 petani di Kapanewon Nanggulan, Kabupaten Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) mengikuti kegiatan Sekolah Lapang Iklim (SLI) Tematik 2022 yang digelar oleh Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG). Petani diajarkan memahami iklim yang semakin sering berubah untuk mengantisipasi gagal panen.

Dalam kegiatan ini petani yang tergabung dalam Perkumpulan Petani Pemakai Air (P3A) diajak untuk belajar tentang perubahan iklim yang sekarang makin sulit diprediksi. Jika dahulu ilmu titen dan pranata mangsa digunakan untuk menentukan kapan harus tanam dan panen, saat ini, seiring dengan tidak jelasnya cuaca, maka cara tersebut sudah tak relevan lagi.

Karena itu perlu ada peningkatan ilmu bagi para petani agar tidak salah menentukan langkah. Apabila salah perhitungan, risiko terburuk adalah gagal panen karena dampak cuaca ekstrem seperti badai, banjir, kekeringan hingga puting beliung dapat merusak tanaman.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Lewat kegiatan ini kami ingin memberikan pemahaman iklim kepada petani agar mereka mampu memahami informasi cuaca dan iklim yang semakin sering berubah-ubah tidak karuan. Semakin tidak pasti," ucap Kepala BMKG Dwikorita Karnawati di sela-sela kegiatan SLI di Kalurahan Wijimulyo, Kapanewon Nanggulan, Kulon Progo, Kamis (24/3/2022).

Dalam sekolah tersebut, para petani dibekali ilmu-ilmu baru terkait tata cara mengetahui perubahan iklim oleh petugas Stasiun Klimatologi Sleman. Salah satunya adalah dengan memanfaatkan layanan informasi cuaca dan iklim yang disediakan BMKG.

ADVERTISEMENT

Informasi tersebut kata Dwikorita bisa jadi patokan bagi para petani untuk menentukan kapan harus mulai tanam dan mengatur polanya. Di samping itu petani juga dapat menentukan kapan seharusnya hasil bumi mereka bisa dipanen.

"Dengan informasi BMKG (petani) mengetahui paling tidak 6 hari sebelumnya (untuk cuaca). Kalau iklim bisa tahu enam bulan sebelumnya. Jadi mereka sudah bisa menyusun rencana tanam bagaimana, pola tanamnya seperti apa, jenis tanaman yang tepat apa dan kapan harus mulai ditanam, kapan harus menunda tanam, kapan harus memanen dan akan mengetahui berapa hari lagi akan terjadi cuaca ekstrem sehingga bisa bersiap-siap. Apa yang harus disiapkan agar tidak gagal panen," ujarnya.

"Harapannya dengan cara itu ketahanan pangan dapat dijaga, tetap dikendalikan dan ditingkatkan," sambungnya.

Terkait dengan SLI, Dwikorita menerangkan bahwa kegiatan ini sudah ada sejak 2011 silam dan telah digelar di sejumlah daerah di seluruh Indonesia. Kehadiran SLI sendiri dilatarbelakangi oleh hasil analisis BMKG tentang perubahan cuaca dan iklim yang makin tak menentu.

Imbas perubahan iklim ini memicu terjadinya cuaca ekstrem yang berpotensi mengganggu produktivitas hasil panen petani. "Nah tentunya yang paling rentan mengalami hal tersebut, yang paling tersiksa dengan fenomena ekstrem yang makin sering terjadi adalah para petani dan nelayan. Tapi di sini ini petani," ucapnya.

Ditemui di lokasi yang sama, Kepala Pusat Pelayanan Informasi Iklim Terapan BMKG, Ardhasena Sopaheluwakan menyatakan SLI cukup efektif membantu petani dalam mengantisipasi gagal panen imbas perubahan cuaca.

"Ya secara umum rata-rata nasional evaluasi sekolah lapangan iklim dari sejak 2011 itu paling tidak ada peningkatan rata-rata hingga 30 persen. Dibandingkan dengan sebelum atau tanpa diselenggarakannya sekolah lapang iklim," ucapnya.

"Jadi mekanisme pendampingan di sekolah lapangan iklim ini terbukti efektif untuk mendampingi para petani beradaptasi dalam kondisi cuaca yang ekstrem ini," tutupnya.

Sementara itu, Bupati Kulon Progo, Sutedjo menyampaikan terimakasih kepada BMKG karena telah menggelar kegiatan SLI. Menurutnya hadirnya SLI di Kulon Progo sangat penting bagi petani agar bisa menentukan kapan harus tanam hingga panen tanpa khawatir gagal panen imbas cuaca ekstrem.

"Kami menyampaikan terimakasih yang sebesar-besarnya, BMKG ini telah menyelenggarakan SLI karena sangat membantu teman-teman petani di sini. Karena petani ini tidak boleh ngawur dalam bertaninya. Jadi waktu tanam, waktu pemeliharaan dan kapan harus panen itu perlu menyesuaikan dengan iklim. Sehingga pemahaman terhadap iklim ini sangat penting bagi petani," ucapnya.

Untuk diketahui Kulon Progo termasuk daerah yang memiliki lahan pertanian cukup luas di DIY. Dari total luas wilayah yang mencapai 58.627,54 hektare, lebih dari separuhnya digunakan untuk kegiatan pertanian.

Rinciannya sawah 10.732,04 hektare (18,30%); tegalan 7.145,42 hektare (12,19%); kebun campur 31.131,81 hektare (53,20%); hutan 1.025 hektare (1,75%) serta perkebunan rakyat 486 hektare (0,80%).

Sisanya dimanfaatkan untuk perkampungan seluas 3.337,73 hektare (5,69%); tanah tandus 1.225 hektare (2,09%); waduk 197 hektare (0,34%); tambak 50 hektare (0,09%); dan tanah lain-lain seluas 3.315 hektare (5,65%).




(aku/sip)


Hide Ads