Perajin kerupuk di Kota Pekalongan terpuruk dampak dari mahal dan langkanya minyak goreng. Dari puluhan perajin kerupuk, kini yang masih bertahan tinggal segelintir saja.
Para perajin kerupuk industri rumahan itu berada di Kelurahan Kalibaros, Kecamatan Pekalongan Timur. Wilayah itu sejak tahun 1950 dikenal sebagai sentra produksi kerupuk.
Salah seorang perajin kerupuk yang masih bertahan, Arizal Umam (33), mengatakan di tingkat eceran ia memperoleh minyak goreng curah dengan harga Rp 22 ribu hingga Rp 23 ribu per liternya. Itu pun harus pesan dulu karena minyak langka.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Sejak adanya gaduh minyak goreng, memang perajin produksi kerupuk berkurang karena mahal dan langka. Sebelumnya ada 30, saat ini yang bertahan 8, termasuk saya yang masih bertahan," kata Arizal saat ditemui wartawan, Kamis (24/3/2022).
Sebelum mahal dan langkanya minyak goreng, ia mengakui bisa memproduksi 100 ribu krupuk per harinya. Bahkan bisa lebih. Namun sejak adanya persoalan minyak goreng, ia hanya mampu memproduksi 30 ribu krupuk.
"Ya sangat berpengaruh. Produksi krupuk itu yang dulunya per harinya seratus ribu, sekarang ini 30 ribu per hari. Ya karena sangat sulit. Sekarang (minyak goreng), harga mahal, tetapi mencari di pasaran itu tidak ada," katanya.
Padahal, dalam sehari ia membutuhkan 5-8 jeriken, satu jeriken berisi 18 liter minyak goreng curah.
![]() |
"Kalau dihitung literan jatuhnya Rp 22 ribu sampai Rp 23 ribu per liternya. Jadi ya kita sulit. Tidak bisa apa-apa kecuali bertahan dan mundur. Untuk ukuran, dulu sudah dikecilkan. Harga juga sudah naik saat pertama itu, dari Rp 12 ribu menjadi Rp 14 ribu per 100 kerupuk," katanya.
"Tempat saya masih bertahan. Tidak tahu sampai kapan. Saya perkirakan sampai puasa bertahan. Kasihan juga karyawan-karyawan, mau lebaran," imbuhnya.
Alasan perajin kerupuk menutup usahanya selain harga minyak goreng juga terkait kenaikan harga lainnya, seperti tepung tapioka hingga kenaikan gas, dalam waktu bersamaan.
"Tepung tapioka saja yang semula Rp 600 ribu per kuintal sekarang menjadi Rp 900 ribu per kuintal. Dan saya dengar akan naik lagi ini. Belum ditambah kenaikan gas melon dari Rp 18 ribu sekarang Rp 19 ribu. Inilah yang membuat perajin kerupuk menutup usahanya karena tidak menguntungkan," katanya.
Ia berharap, agar pemerintah benar-benar menstabilkan harga minyak dan memperbanyak pemasarannya.
"Harga ideal normal untuk bisa menghidupi karyawan, ya Rp 11 ribu hingga Rp 12 ribu per liter," imbuhnya.
Sementara itu, Sekretaris Kelurahan Kalibaros, Lusiana, menjelaskan di wilayahnya memang sebagai sentra produksi aneka kerupuk sejak lama.
"Kalau mayoritas ya bekerja di perajin kerupuk lebih dari 40 persen. Ya, sejak adanya minyak sulit, memang para perajin banyak mengeluh disampaikan ke kami. Kami telah berupaya melakukan operasi pasar, bekerja sama dengan dinas terkait, namun tidak banyak membantu," kata Lusiana kepada detikJateng.
(rih/sip)