Warga di kawasan Sungai Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) memprotes aktivitas penambangan pasir dan mendesak kegiatan tersebut dihentikan. Kegiatan tambang pasir itu diduga telah mencemari sumber mata air serta memicu longsor yang mengancam permukiman penduduk.
Protes itu dilayangkan warga Dusun Wiyu dan Pundak Wetan, Kalurahan Kembang, Kapanewon Nanggulan, Kabupaten Kulon Progo serta Dusun Jomboran dan Nanggulan, Kalurahan Sendangagung, Kalurahan Minggir, Kabupaten Sleman. Mereka tergabung dalam Paguyuban Masyarakat Kali Progo (PMKP).
PMKP meminta perusahaan tambang yaitu PT Cintra Mataram Konstruksi (CMK) dan Pramudya Afghani agar bertanggung jawab atas dampak lingkungan imbas aktivitas penambangan yang dilakukan di Sungai Progo sejak 2019 silam. Salah satu dampaknya yakni tercemarnya sumur dan fasilitas penyedia air minum dan sanitasi berbasis masyarakat (Pamsimas) di sekitar lokasi pertambangan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kami benar-benar merasakan pencemaran sejak bulan Desember (2021) menjelang hujan. Kami rasakan banget airnya itu keruh. Jadi kita nggak bisa konsumsi. Jadi kita harus rela beli air untuk minum, bahkan mungkin untuk mandi," ujar Yuliana (39) warga terdampak asal Dusun Wiyu, Kembang kepada wartawan di lokasi protes yang bertempat di area pertambangan pasir, Senin (31/1/2022).
"Yang kita upayakan itu adalah masalah pencemaran. Kami penginnya itu nggak ada alat berat sama sekali selama-lamanya. Kami merasa resah, karena tambang ini membuat semuanya bubrah, dari sosial ekonomi kita itu bubrah," ucapnya.
Hal senada disampaikan warga terdampak dari Dusun Pundak Wetan, Suburiyah (64). Suburiyah menuturkan selain mencemari air bersih, kegiatan pertambangan itu juga membuat debit air Pamsimas menurun drastis.
"Debit air di Pamsimas sekarang turun drastis, bahkan turunnya sampai 50 persen, padahal sekarang lagi musim hujan," keluh Suburiyah.
Suburiyah mengatakan kegiatan pertambangan ini juga memicu longsor di bantaran sungai. Kondisi ini jika dibiarkan bisa mengancam permukiman penduduk.
"Dampak yang kami rasakan itu adanya longsor yang terjadi belum lama ini, padahal lokasi tebing yang longsor itu sangat dekat dengan rumah saya," ucapnya.
Keluhan soal tambang pasir dilaporkan ke Ombudsman
Terkait hal itu, warga terdampak yang tergabung dalam PMKP mendesak pihak berwenang menghentikan operasional tambang serta mengecek izin penambangan karena ada dugaan tambang pasir itu tidak berizin. Warga juga melaporkan hal ini ke Ombudsman RI (ORI) DIY.
Pemeriksa Laporan, ORI DIY, Muhammad Bagus Sasmita, membenarkan adanya laporan dari PMKP ini. Laporan itu berisi keluhan warga perihal dampak aktivitas pertambangan pasir serta dugaan cacat administrasi izin tambang.
"Ya benar kami dapat laporan dari PMKP, dan yang terlapor adalah Pemda DIY, yang di dalamnya terkait penerbitan izin penambangan, khususnya untuk wilayah Jomboran dan Nanggulan (Minggir). Itu atas dua izin meski lokasinya tiga titik yaitu dua titik untuk PT CMK dan satu titik milik Pramudya Afghani," ujar Bagus saat dimintai konfirmasi lewat sambungan telepon, hari ini.
"(Dua pertambangan pasir) Itu yang dikeluhkan masyarakat. Menurut masyarakat tidak sesuai izinnya. Ada hal-hal dalam tanda kutip dipertanyakan, misal masyarakat tidak dilibatkan dalam proses sosialisasi, kalaupun ada sosialisasi dan sebagainya masyarakat tetap menolak. Artinya mereka tidak ingin ada aktivitas tambang itu karena lokasinya berdekatan dengan lingkungan dan rumah tempat tinggal masyarakat," sambungnya.
Bagus menjelaskan laporan itu diterima ORI DIY pada Desember 2021. Pihaknya kemudian memfasilitasi kegiatan audiensi pada 27 Januari 2022 di kantor ORI DIY.
Audiensi ini dihadiri pihak pelapor, Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) DIY, Balai Besar Wilayah Sungai Serayu Opak Progo (BBWSSO), Dinas Perizinan dan Penanaman Modal (DPPM) DIY serta perwakilan Pemkab Kulon Progo dan Pemkab Sleman.
Dalam pertemuan tersebut ORI DIY ingin mendengarkan keterangan dari instansi terkait aktivitas tambang. Menurut Bagus, instansi terkait memberikan keterangan perihal pengawasan dalam hal ini inspektur tambang. Namun hasilnya tidak sinkron dengan keterangan masyarakat setempat.
"Mereka (Inspektur tambang) bilang kalau sudah datang ke lokasi, tapi saat itu tidak ada aktivitas pertambangan. Tapi menurut masyarakat mereka tetap nambang sebenarnya. Ini yang ingin kita pastikan apakah unsur pengawasan betul-betul berjalan, sesuai dengan ketentuannya," ujarnya.
Bagus mengatakan saat ini pihaknya masih melakukan pendalaman atas laporan tersebut. Jika nanti ditemukan indikasi pelanggaran sesuai dengan yang dilaporkan, maka ORI DIY akan mengirimkan saran ke instansi terkait.
"Sejauh ini kami masih memantau bagaimana sih tindak lanjut dari instansi terkait dari Pemda DIY. Jika memang ada indikasi pelanggaran soal izin, maka kami akan minta instansi terkait untuk meninjau kembali izin tambang tersebut," ucapnya.
DLHK DIY Uji Sampel Sumur Warga
Sementara itu pihak dari DLHK DIY bersama unsur Pemerintah Kabupaten Kulon Progo, Kapanewon Nanggulan dan Kalurahan Kembang melakukan peninjauan lokasi pertambangan pada hari ini. Tim dari Laboratorium Lingkungan DLHK pun menguji sampel sumber air warga yang diduga telah tercemar.
"Menindaklanjuti aduan dari masyarakat, kami melakukan uji sampel air sumur dan Pamsimas. Ada lima titik yang kami ambil airnya, yaitu empat sumur warga dan satu air dari Pamsimas," ucap Kepala Bidang Penaatan, Kajian dan Pengembangan Kapasitas Lingkungan Hidup, DLHK DIY, Agustinus Ruruh Haryata ditemui usai pengambilan sampel di Kembang, Nanggulan.
Ruruh mengatakan sampel air ini selanjutnya akan dicek di laboratorium DLHK. Adapun hasilnya baru akan keluar 20 hari setelah pengambilan sampel.
(ams/sip)