Sidang perdana kasus dugaan pemerasan terhadap mahasiswa Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Anestesi Universitas Diponegoro (Undip) mengungkap total uang yang ditarik dari para residen atau mahasiswa sejak 2018 sampai 2023 mencapai Rp 2,49 miliar.
Sidang perdana terdakwa dr Taufik Eko Nugroho selaku eks Kepala Program Studi dan Sri Maryani selaku staf administrasi itu digelar di Pengadilan Negeri (PN) Semarang, Senin (26/5).
Jaksa Penuntut Umum (JPU) Sandhy Handika menyampaikan, praktik pungutan liar itu berkedok iuran Biaya Operasional Pendidikan (BOP), nominalnya sekitar Rp 80 juta per mahasiswa.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Terdakwa dr Taufik Eko Nugroho secara konsisten menyatakan bahwa setiap residen atau mahasiswa PPDS wajib membayar iuran biaya operasional pendidikan (BOP) sampai dengan sebesar kurang lebih Rp 80 juta per orang," ujar Sandhy, Senin (26/5/2025).
Jaksa menjelaskan, iuran tersebut diklaim untuk membiayai berbagai kebutuhan akademik, akan tetapi dipungut secara nonresmi dan dikelola di luar sistem keuangan resmi kampus.
"Terdakwa Sri Maryani menerima dana dari berbagai bendahara angkatan dan bendahara utama secara tunai dengan jumlah total mencapai Rp 2,49 miliar," lanjutnya.
Dana yang dihimpun itu, menurut Shandy, tidak disimpan dalam rekening universitas, tapi masuk ke rekening pribadi Sri Maryani. Saat dana mulai menipis, Maryani disebut melapor ke Taufik yang lalu memerintahkan pengumpulan tambahan.
Taufik juga diduga menerima langsung dana tersebut selama menjabat sebagai Kepala Program Studi (KPS), dengan total yang diterima mencapai Rp 177 juta. Maryani, menurut jaksa, mendapat honor tetap Rp 400 ribu per bulan dari dana tersebut.
"Total dana BOP yang telah diterima oleh terdakwa dr Taufik yang selama jabatan sebagai KPS mencapai setidak-tidaknya Rp 177 juta," jelasnya.
Uang itu, kata Shandy, diberikan dalam bentuk tunai maupun dari kegiatan yang diklaim telah dikeluarkan sebagai bagian dari tugas akademik. Beberapa pengeluaran itu bahkan tak disertai kuitansi resmi dan hanya dibuat oleh Maryani sebagai formalitas administrasi belaka.
"Terdakwa Sri Maryani mendapatkan keuntungan berupa honor sebesar Rp 400 ribu per bulan dari sumber keuangan BOP residen dengan total sebesar Rp 24 juta," tuturnya.
Jaksa turut memaparkan bagaimana praktik pungutan itu dibungkus dengan sistem hierarki ketat di lingkungan PPDS anestesi, termasuk doktrin internal yang menempatkan junior dalam posisi tunduk terhadap senior. Sistem ini disebut menciptakan tekanan psikologis hingga rasa takut pada para mahasiswa.
"Tindakan para terdakwa merupakan bentuk pungutan liar atau ilegal karena pungutan di luar SPP hanya dikenal dalam bentuk SPI dan tidak pernah dalam bentuk BOP sebagaimana dilakukan oleh terdakwa Taufik dan terdakwa Sri Maryani," tegas jaksa.
Atas perbuatannya, kedua terdakwa didakwa melanggar Pasal 368 ayat (1) KUHP tentang Pemerasan dan Pasal 378 KUHP tentang Penipuan.
Sebelumnya diberitakan, Polda Jateng telah menetapkan 3 tersangka dalam kasus dugaan bullying dan pemerasan yang mengakibatkan tewasnya mahasiswa PPDS Anestesi Universitas Diponegoro (Undip), dr Aulia Risma. Ketiga tersangka merupakan Kaprodi hingga senior Aulia.
"Ditreskrimum Polda Jawa Tengah telah menetapkan 3 tersangka kasus PPDS program pendidikan dokter spesialis, yaitu 1 saudara TE, kedua saudari SM, ketiga saudari Z," kata Kabid Humas Polda Jateng Kombes Artanto di Mapolda Jateng, Semarang, Selasa (24/12/2024).
(dil/rih)