Mantan jaksa Pinangki Sirna Malasari mendapat bebas bersyarat. Pinangki merupakan terpidana dalam kasus suap Djoko Tjandra.
Di saat bersamaan, mantan Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah juga bebas bersyarat. Sebelumnya Atut merupakan narapidana kasus suap eks Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Akil Mochtar.
Bebas bersyaratnya kedua narapidana kasus korupsi ini menjadi sorotan Pukat UGM, terutama dalam hal pemberian remisi. Menurut peneliti Pukat UGM Zaenur Rohman remisi bukan hanya diberikan untuk terpidana korupsi. Namun, menurut dia, negara punya hak untuk tidak memberikan remisi.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Itu bukan merupakan pelanggaran hak asasi manusia bukan, sebenarnya tanpa remisi pun, kalau negara tidak memberikan remisi ya sama sekali misalnya tidak memberikan remisi itu juga tidak ada hak yang dilanggar di situ sebenarnya. Ini tergantung itikad baik dari negara," kata Zaenur saat dihubungi wartawan, Rabu (7/9/2022).
Di sisi lain, lanjutnya, pemberian remisi ini menunjukkan tindak pidana korupsi kini bukan menjadi extraordinary crime. Sebab, remisi bisa diberikan kepada terpidana korupsi.
"Saya melihat ini dengan contoh kasus Pinangki ini pemidanaan yang sekarang dengan tidak adanya pembatasan pemberian remisi itu ya, menunjukkan bahwa itu sekali lagi korupsi bukan lagi extraordinary crime. Bukan lagi kejahatan luar biasa," ujarnya.
Zaenur menjelaskan remisi bisa diberikan ke terpidana korupsi karena tahun 2021 Mahkamah Agung membatalkan PP No 99 tahun 2012 yang memberi batasan pemberian remisi kepada terpidana korupsi. Pemberian remisi ini menurut Zaenur tidak akan memberikan efek jera.
"Seseorang tidak akan takut melakukan tindak pidana korupsi karena cukup sebentar di dalam lembaga permasyarakatan sudah bisa menghirup udara bebas. Jadi disinsentif melakukan korupsi itu sangat kecil," ungkapnya.
Lebih lanjut, Zaenur juga melihat dari sisi pemidanaan. Untuk membuat efek jera, terpidana korupsi harusnya dimiskinkan. Hanya saja, regulasinya saat ini belum ada.
"Nah saat ini itu kan tidak berjalan karena belum ada undang-undang perampasan aset hasil kejahatan. Sehingga para pelaku tipikor itu masih banyak yang menyembunyikan harta hasil kejahatannya dan tidak terendus oleh aparat penegak hukum," bebernya.
Ia mempertanyakan keseriusan pemerintah dalam hal pemberantasan korupsi di Indonesia.
"Ya kalau negara ini masih serius ingin memberantas korupsi, masih menganggap korupsi itu permasalahan yang laten yang harus diberantas maka menurut saya harus ada efek jera," tegasnya.
"Efek jera itu bisa dilakukan dengan dua cara, pertama pemiskinan. Kedua kalau mau ada penjeraan ya menurut saya pidana badan itu tetap harus seimbang," sambungnya.
Selengkapnya di halaman selanjutnya..
Sebelumnya, Pinangki Sirna Malasari mendapatkan pembebasan bersyarat. Pinangki adalah terpidana perkara makelar (markus) kasus korupsi Djoko Tjandra.
"Hari ini tidak hanya beliau (Ratu Atut Chosiyah). Kita bebas bersyaratkan juga Pinangki, Mirawati (Basri), dan Desi Arryani," ucap Kepala Divisi Pemasyarakatan Kanwil Banten Masjuno seperti dilansir detikNews, Selasa (6/9).
Pembebasan Pinangki memang bersamaan dengan Ratu Atut. Masjuno mengatakan Pinangki sudah menjalani penahanan kurang lebih 2 tahun.
"Kurang lebih 2 tahun. Sama syaratnya juga, disamakan semuanya karena sudah tertuang secara tertulis," kata Masjuno.
Diketahui, Pinangki divonis bersalah karena menjadi makelar kasus alias markus agar terpidana korupsi Djoko Tjandra bisa lolos dari hukuman penjara dengan mengajukan PK. Saat itu, Djoko statusnya buron. Tapi usaha Pinangki terbongkar dan dia harus mempertanggungjawabkannya.
Pinangki awalnya divonis 10 tahun penjara oleh majelis hakim pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Vonis tersebut kemudian disunat oleh Pengadilan Tinggi Jakarta menjadi 4 tahun penjara. Atas vonis itu, jaksa dan Pinangki tidak mengajukan kasasi.
Sementara Ratu Atut dihukum atas kasus suap kepada mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Akil Mochtar dan perkara pengadaan alat kesehatan.
Dalam perkara suap Akil, Ratu Atut divonis 4 tahun penjara dan denda Rp 200 juta subsider 5 bulan kurungan. Vonis ini kemudian diperberat di tingkat kasasi menjadi 7 tahun penjara.
Sedangkan dalam kasus korupsi alat kesehatan, Ratu Atut divonis penjara 5 tahun 6 bulan penjara dan denda Rp 250 juta subsider 3 bulan kurungan.