Saat detikJateng berkunjung tampak gua, langgar, dan sumber air yang dinamakan Suran tersebut masih terawat dengan baik. Lokasinya terletak di tepian Sungai Soka di selatan Desa Jatinom yang jauh dari aktivitas masyarakat.
Lokasinya sekitar satu kilometer dari kota Kecamatan Jatinom. Dari situ detikers bisa menuju ke masjid gede atau kompleks makam Ki Ageng Gribig. Dari makam dilanjutkan berjalan kaki menuruni ratusan anak tangga ke Oro-oro Klampeyan (Tarwiyah).
Dari Oro-oro dilanjutkan ke arah timur menyusuri tepi sungai sejauh 100 meter. Di bawah rapatnya rumpun bambu dan pohon-pohon besar itulah terdapat gua, langgar, dan sumber Suran.
Gua Suran berada di tebing sungai, tingginya sekitar 150 sentimeter, menghadap ke selatan dengan ruang tengah cukup luas. Ada lorong dengan kedalaman sekitar 2,5 meter dan tangga tatanan batu sungai di halaman gua.
Sumber air Suran tepat berada di sisi kiri anak tangga batu menuju mulut gua. Sumur tersebut hanya berukuran 1x1 meter dengan kedalaman sekitar 3 meter dan berdampingan dengan langgar Suran yang luasnya sekitar 3x3 meter.
"Gua Suran dibuat Ki Ageng Gribig dibantu para santri dan letaknya di lereng utara Sungai Soka. Perkiraan dibuat semasa Ki Ageng atau Wasibagno Timur atau semasa Mataram Islam Sultan Agung (1613-1645 M)," ungkap Pengelola dan Pelestari Peninggalan Ki Ageng Gribig (P3KAG), Moh Daryanto kepada detikJateng, Minggu (18/8/2024).
![]() |
Daryanto menuturkan aktivitas dakwah Ki Ageng Gribig dipusatkan di Masjid Alit (letaknya kini di tengah kampung). Namun untuk menyepi dibuatlah gua Suran, sumber air, dan langgar.
"Ki Ageng Gribig membuat gua dan menggunakannya untuk kegiatan di samping di paguronnya di masjid alit , kadang menyendiri dan menyepi di gua Suran. Sedang sumber air Suran digali Ki Ageng bersama santrinya yang fungsinya untuk berwudhu saat manjing waktu salat lima waktu saat menyepi di gua," ucap Daryanto.
Untuk melaksanakan salat, sambung Daryanto, Ki Ageng tidak melaksanakan di gua tetapi di tanah lapang dekat sumber air. Alasnya menggunakan batu sungai yang datar.
"Awalnya salat sendiri di batu leter (datar), kemudian para santri menata batu dan meratakkan tanah di sekitar batu. Dulu belum ada bangunan langgar tapi oleh para kiai ratusan tahun setelah Ki Ageng wafat maka dibuatlah langgar Suran," lanjut Daryanto.
Makna di Balik Nama Suran
Langgar Suran, kata Daryanto, tidak digunakan untuk salat rawatib (rutin salat lima waktu) tetapi hanya digunakan saat menyepi. Untuk salat rawatib tetap dilaksanakan di masjid sehingga antara gua, sumber air, dan langgar itu satu kompleks.
"Jadi antara gua, sumur dan langgar itu satu kompleks. Mengapa disebut Suran? Karena Ki Ageng memohon agar sumber air itu tidak kering, mudah-mudahan mengalir terus atau sur-suran," imbuh Daryanto.
Terpisah, juru bersih kompleks gua, langgar dan sumber Suran, Parno (60), menyatakan semua masih dirawat dengan baik. Sumber Suran juga selalu mengalir.
"Masih ada airnya terus, ini untuk wudhu, gua untuk menyepi dan langgar untuk salat Ki Ageng. Masih dikunjungi, biasanya hari Selasa Kliwon," ujar Parno kepada detikJateng di lokasi.
Eko Susanto, koordinator pelaksana Yaa Qowiyyu 2024 mengatakan Ki Ageng Gribig merupakan ulama besar. Ki Ageng merupakan keturunan kedua raja Majapahit Brawijaya V.
"Ki Ageng adalah keturunan kedua raja Majapahit Prabu Brawijaya V. Hidup di masa Sultan Agung, raja Mataram Islam, ya beliau (Ki Ageng Gribig) itu ulama," ungkap Eko kepada detikJateng.
(ams/ams)