Sejauh mata memandang, tak ada bangunan yang tingginya melebihi Masjid Agung Demak. Ternyata, hal itu menjadi cara masyarakat untuk menghormati bangunan sakral yang tak hanya sebagai tempat ibadah, melainkan bangunan bersejarah peninggalan para Wali era Kerajaan Islam di Jawa.
Diketahui, Masjid Agung Demak yang dibangun pada abad ke-15 ini ditetapkan sebagai cagar budaya sejak tahun 1993 silam. Cagar budaya ini diakui karena memiliki nilai sejarah dan memiliki arsitektur yang penting dalam konteks budaya dan agama di Indonesia.
Masyarakat setempat pun merawat bangunan Majid Agung Demak tak hanya sebagai tempat ibadah, namun juga bukti sejarah yang memiliki nilai budaya dan agama. Bahkan, setidaknya radius 100 meter, tak yang berani mendirikan bangunan melebihi ketinggian Masjid Agung Demak.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Hal itu dilakukan agar bangunan sakral setinggi 21,6 meter itu tetap menonjol sekaligus menghormati para Sultan yang makamnya berada di kompleks masjid tersebut.
Pantauan detikJateng, meskipun banyak bangunan tinggi didirikan seperti Museum Masjid Agung Demak, Kantor Kejari Demak, SMPN 2 Demak, dan sebagainya. Namun tak ada satu pun yang melebihi tinggi Masjid Agung Demak.
Menurut pemerhati sejarah, Ahmad Widodo, dirinya pernah mendapatkan pelatihan khusus terkait cagar budaya itu. Disebutkan bahwa sebaiknya area radius sekitar 100 meter dari obyek tersebut tak dibangun bangunan baru agar masjid tak terlihat tenggelam.
"Kalau sesuai dengan pengetahuan saya, yang mana itu situs cagar budaya yang sudah ditetapkan seperti Masjid Agung Demak, termasuk komponen-komponen yang lain, itu seyogyanya bisa menonjolkan masjid dan komponennya," terangnya saat dihubungi detikJateng, Rabu (14/8/2024).
"Saya berharap dari lubuk hati saya, bangunan-bangunan di sekitar Masjid Agung Demak hendaklah jangan terlalu tinggi. Masalahnya satu, kalau diingat itu kan bangunan wali ada makam para Sultan, kok ya nggak sopan gitu loh. Kalau menurut adat ya harus tahu diri," sambung Widodo yang pernah menjabat Plt Kepala Museum Glagah Wangi UPTD Dindikbud Demak itu.
Selain di sekitaran masjid, tempat lain yang juga tak memiliki bangunan tinggi yakni area Makam Sunan Kalijaga. Tujuannya sama, yaitu menghormati bangunan sakral. Hal tersebut memang sudah menjadi adat kesopanan yang dipegang secara luas oleh masyarakat setempat.
"Iya, nggak ada yang berani. Mungkin juga ada yang rumahnya bertingkat. Coba cari tahu sendiri ada apa di situ?," ucapnya.
Lebih lanjut, Widodo juga menjelaskan terkait menara Masjid Agung Demak yang memiliki tinggi lebih beberapa centimeter (cm) dari masjid. Namun, menara yang dibangun pada era Bupati Aryo sosodiningrat tahun 1932 itu diperbolehkan lantaran masih dalam satu kompleks bangunan.
"Sedangkan sejarah dari menara Masjid Agung itu sendiri, Masjid Agung Demak itu didirikan tanpa menara zaman dulu. Yang ada itu tahun 1932 zamannya Bupati Kanjeng Aryo Sosrodiningrat, itu membangun menara. Namun keterangan dari pihak masjid, ulama yang berkuasa di masjid itulah yang membangun. Tapi yang jelas itu era pemerintahan Raden Aryo Sosrodiningrat. Tanpa seizin atau perintahnya tidak bisa itu," jelasnya.
Ia menyebut pembuatan menara tersebut juga dalam pengawasan pemerintah Belanda. Pemerintah Belanda turut serta menjadi bagian teknis pembuatan menara tersebut.
"Pada saat itu juga ada kerja sama dengan Belanda, masalahnya mohon izin juga pembuatan (menara) itu, masalahnya di bawah pengaruh atau pengawasan Belanda. Belanda juga ikut sekaligus teknisnya," katanya.
Sementara itu, menurut Kepala Bidang Tata Ruang dan Pertanahan Dinputaru Demak, Naning Prih Hatiningrum, pada 24 Juni 2022 lalu, ada keputusan bersama terkait tinggi bangunan antara pemerintah dengan ulama dan umara setempat. Disepakati, tidak boleh ada bangunan yang lebih tinggi dibandingkan Masjid Agung Demak dalam radius 150 meter.
"Jaraknya sekitar 150 meter, cuman kan untuk memudahkan batasannya dibuat batas geografis, kan ada bangunan atau kayak saluran air gitu," ujar Naning kepada detikJateng melalui telepon, Selasa (6/8).
Ia menerangkan, selain menjaga keberadaan Masjid Agung Demak sebagai cagar budaya juga untuk menjaga estetika bangunannya. Seperti diketahui, Masjid Agung Demak juga terletak di kawasan pusat kota atau masih dalam satu kawasan dengan Alun-alun Demak.
"Tujuannya bangunan masjid itu kita jaga, tetap yang paling tinggi di radius itu. Karena Masjid Agung kan sudah ditetapkan sebagai salah satu cagar budaya nasional dan menjaga dari estetika," ujarnya.
"Kita kan sepakat kalau masjid itu kan menjadi bangunan yang, apalagi Masjid Agung Demak ya, menjadi sesuatu yang perlu kita hormati. Termasuk ketinggian, sehingga tidak ada bangunan yang merusak nilai-nilai religi dari Masjid Agung Demak itu sendiri," terangnya.
Selanjutnya bangunan itu akan masuk dalam rencana tata bangunan dan lingkungan (RTBL) kawasan Masjid Agung Demak.
"Iya, itu kan sudah menjadi berita acara, yang sudah ditandatangani bersama dari perwakilan umara dan para ulama. Ulama kiai khusunya yang ada di kabupaten Demak ya. Kemudian selanjutnya itu muncul nantinya ada di rencana RTBL kabupaten Demak yang saat ini masih proses penyusunannya oleh Dinputaru Tata Ruang dan Pertanahan. Jadi itu menjadi bagian kesepakatan, yang nantinya akan diwujudkan dalam kebijakan penataan kawasan Masjid Agung," ucapnya.
Selain Masjid Agung Demak dalam rapat bersama tersebut juga telah disepakati untuk mempertahankan sejumlah bangunan di kawasan tersebut yang memiliki nilai historis. Seperti halnya bangunan SMPN 2 Demak, Kejaksaan Negeri Demak, Rumah Tahanan, Kantor Pos, Toko Hartono, dan Kantor Telkom.
"Hasil dari delineasi kawasan, jadi kan ada history-nya. Dulu itu tempat-tempat itu merupakan tempat-tempat yang mempunyai nilai-nilai historisnya, jadi kita jaga. Kita memutuskan sejauh mana, tempat-tempat mana saja yang kita jaga kelestariannya," terangnya.
(cln/apu)