Terlahir dalam kondisi tak memiliki kedua tangan tidak membuat Sadikin Pard (57), berkecil hati. Menggunakan kedua kakinya, Sadikin sukses menekuni profesi sebagai pelukis.
Sadikin mulai tekun melukis sejak masih duduk di semester 3 Fakultas Psikologi, Universitas Muhammadiyah Malang (UMM). Setelah lulus kuliah, dirinya bergabung dengan asosiasi pelukis mulut dan kaki atau Association of Mouth and Foot Painting Artists (AMFPA).
Kesenangannya akan melukis muncul semenjak masih duduk di Taman Kanak-kanak (TK). Pendidikan TK dan SD di YPAC Solo, sedangkan semenjak SMP hingga kuliah di Malang.
Ia kini tengah mengikuti workshop rangkaian Borobudur International Art Fest (BIAF) 2023 di Balai Ekonomi Desa (Balkondes) Wanurejo. Sedangkan pameran karya nantinya akan berlangsung di Limanjawi Art House Borobudur.
"Waktu Taman Kanak-kanak (TK) pelajarannya menyanyi, melukis, menari. Yang membuat saya menjadi cinta melukis saat pelajaran menggambar. Setelah kuliah, saya tergabung asosiasi pelukis mulut dan kaki di Austria sampai saat ini," kata Sadikin kepada wartawan saat ditemui di sela-sela melukis di Balkondes Wanurejo Borobudur, Kamis (21/9/2023).
Sadikin mengakui semenjak bergabung dengan AMFPA rasa percaya diri semakin tumbuh. Baginya, difabel bukan suatu halangan untuk berkreasi.
Untuk menulis, Sadikin menggunakan kaki sebelah kanan. Sedangkan untuk melukis dia menggunakan kaki sebelah kiri.
"Pakai kaki kanan (menulis), melukis pakai kiri. Karena melukis perlu gerakan-gerakan yang luwes, itu kaki kiri lebih enak menjangkau. Kalau menulis cukup di bawah, di meja itu kaki kanan dan hasil menulis kaki kanan sama kiri, jauh beda lebih bagus kanan," ujar suami dari Sutini (53), itu.
Kini, aktivitas melukis Sadikin lebih sering dilakukan bersama dengan orang yang normal. Sedangkan karya yang dihasilkan semenjak semester 3 hingga sekarang jumlah lukisannya sudah ribuan.
"(Terlahir) sudah kondisi difabel. Dalam hal berkesenian, khususnya sekarang ini saya lebih banyak bergabung pada orang-orang yang normal. Ini saya menunjukkan bahwa difabel itu bukan dibelaskasihani, tapi harus diberi kesempatan yang sama dengan orang-orang yang normal. Itu harapan saya pada pemerintah, kepada masyarakat, kepada para pengusaha dan sebagainya," kata Sadikin.
Bapak dari Alrona Setiawan (28) dan Almedo Pard (25) ini mengatakan, dulunya gaya lukisannya realisme, kemudian naturalis. Sapuan kuas Sadikin pun nampak khas, dia sekarang melukis dengan gaya impresionisme.
"Sekarang beralih ke impresionisme karena saya lebih menikmati gaya ini. Ya, mungkin karena bertambahnya umur, saya merasa lebih sesuai, lebih bebas," ujar Sadikin yang dulunya bercita-cita menjadi arsitektur, itu.
Pihaknya pun menepis pendapat orang yang mengatakan pelukis tidak bisa menjadi profesi. Ia bersama keluarganya tinggal di Jalan Selat Sunda Raya D5-35 Sawojajar, Kota Malang,Jawa Timur.
Dari hasil melukis tersebut bisa untuk membuat rumah, padepokan dan galeri. Kemudian, kesukaan anaknya berupa mobil-mobil antik dan moge juga dari hasil melukis.
"Sekarang ini karya-karya saya hampir (mencukupi) kebutuhan di rumah. Saya memiliki tiga tempat, itu tiga tempat dan beberapa itu ya dari melukis. Galeri itu terbangun dari sebuah karya lukisan, tiga lantai, tiga garansi, anak-anak saya suka mobil-mobil antik, moge-moge itu dari karya lukisan," ujar Sadikin seraya menyebut tiap tahun minimal mengirim 15 karya lukis menuju AMFPA.
Simak selengkapnya di halaman selanjutnya.
            
            
            
            
            (aku/apl)