Berbagai daerah di Indonesia memiliki tradisi masing-masing, salah satunya adalah tradisi Rebo Wekasan yang biasa dilakukan masyarakat Jawa. Lantas, apa itu tradisi Rebo Wekasan? Berikut serba-serbinya.
Tradisi di Indonesia biasanya digelar dalam waktu-waktu tertentu. Waktu ini bisa ditentukan oleh penanggalan tradisional maupun penanggalan keagamaan seperti penanggalan hijriah. Tradisi Rebo Wekasan merupakan tradisi yang pelaksanaannya berdasarkan penanggalan Hijriyah, yaitu pada bulan Safar.
Tradisi Rebo Wekasan juga dikenal dengan sebutan Rebo Pungkasan. Untuk informasi selengkapnya, berikut detikJateng rangkumkan serba-serbi Rebo Wekasan.
Pengertian Rebo Wekasan
Dikutip dari desasuci.gresikkab.go.id, Tradisi Rebo Wekasan dikenal pula dengan sebutan Rebo Wekasan atau Rebo Pungkasan. Kata "Rebo" adalah nama hari dalam bahasa Jawa yang berarti hari Rabu dalam bahasa Indonesia. Sementara itu, "Wekasan" merupakan kata dalam bahasa Jawa yang mengacu pada akhir atau "pungkasan".
Dengan demikian, Rebo Wekasan secara harfiah merujuk pada hari Rabu yang terakhir. Dalam konteks tradisional, Rebo Wekasan adalah sebuah perayaan budaya yang diadakan pada hari Rabu terakhir dalam bulan Safar, yakni bulan kedua dalam penanggalan Hijriyah.
Tradisi ini banyak tumbuh dan berkembang di Pulau Jawa, misalnya Gresik, Probolinggo, Banten, Kudus, Tegal, Cirebon, dan sebagainya. Tujuan dari pelaksanaan Tradisi Rebo Wekasan adalah sebagai upaya tolak bala. Bentuk kegiatan tradisi ini di antaranya adalah sholat tolak bala, dzikir bersama, dan selamatan.
Sejarah Rebo Wekasan
Tidak ada dokumen tertulis yang mengungkapkan awal mulanya tradisi ini dan siapa yang pertama kali mempraktikkannya. Sampai sekarang, belum ada informasi yang memberikan gambaran tentang asal-usulnya. Meskipun demikian, tradisi ini telah merasuk dalam kehidupan masyarakat dan tampaknya sudah menjadi bagian yang melekat dalam budaya. Seakan-akan tanpa penyelenggaraannya, sebagian masyarakat merasa seolah akan ada risiko bencana dan kesulitan yang akan datang.
Tradisi Rebo Wekasan ini berkaitan erat dengan penyebaran nilai-nilai keislaman dan ulama penyebarnya di Indonesia pada masa lampau. Dikutip dari laman resmi Desa Pejengkolan, Kebumen, terdapat sejumlah peristiwa yang terjadi pada hari Rabu Wekasan ini dilihat dari sejarahnya. Oleh karena itu, para ulama menyarankan untuk banyak melakukan amalan baik di hari Rebo Wekasan, seperti doa dan sedekah dapat menolak bala.
Hari Rabu pungkasan di bulan Safar juga dipercaya sebagian masyarakat sebagai hari pertama Nabi Muhammad SAW jatuh sakit dan berlangsung selama 12 hari berturut-turut hingga Rasulullah wafat. Selain itu, sebagian orang ahli makrifat termasuk orang yang ahli mukasyafah mengatakan setiap tahun Allah menurunkan bala (bencana) yang berjumlah 320.000. Semuanya diturunkan pada hari Rabu yang terakhir di bulan Safar. Oleh karena itu, umat islam perlu mengamalkan sholat, doa, dzikir dan hal-hal baik yang di Rebo Wekasan ini.
Tradisi Rebo Wekasan di Berbagai Daerah
Tradisi Rebo Wekasan ini tersebar di beberapa daerah di Indonesia. Berikut detikJateng rangkumkan tradisi Rebo Wekasan di berbagai daerah Indonesia dikutip dari jurnal 'REBO WEKASAN MENURUT PERSPEKTIF KH. ABDUL HAMID DALAM KANZ AL-NAJĀḤ WA AL-SURŪR' (2019) oleh Ummu Farida dari IAIN Kudus.
Kudus
Salah satu praktik yang dijalankan oleh masyarakat Kudus dalam peringatan Rebo Wekasan adalah sebagai berikut; pertama, mereka melakukan sholat sunnah mutlaq dengan tujuan untuk menghindarkan diri dari bencana. Sholat ini terdiri dari empat rakaat dengan pilihan untuk melakukan dua tahiyyat dengan satu salam atau dua tahiyyat dengan dua salam.
Seperti halnya sholat lainnya, dalam sholat ini juga diwajibkan membaca al-Fātiḥah diikuti oleh membaca Surat al-Kautsar sebanyak 17 kali, Surat al-Ikhlāṣ sebanyak 5 kali, Surat al-Falaq sebanyak 1 kali, dan Surat an-Nās sebanyak 1 kali. Hal ini dilakukan dalam setiap rakaat sholat. Dengan kata lain, setiap rakaat melibatkan pembacaan keseluruhan surat-surat tersebut. Setelah menyelesaikan sholat, langkah selanjutnya adalah membaca doa perlindungan dari bencana.
Kemudian, langkah kedua adalah pembacaan surat Yasin. Saat mencapai bagian "Salāmun qaulan min rabb al-raḥīm," ayat ini dibacakan sebanyak 313 kali, dilanjutkan dengan ayat-ayat berikutnya hingga selesai. Setelah itu, dilanjutkan dengan membaca doa perlindungan dari bencana.
Langkah ketiga adalah mempersiapkan air Salāmun. Air Salāmun merupakan air yang di dalamnya berisi ayat-ayat yang diawali dengan kata "Salāmun," yang akan diminum dengan tujuan untuk menjauhkan diri dari bencana dan musibah yang mungkin terjadi dalam waktu setahun. Ayat-ayat ini harus dituliskan pada kertas putih dan kemudian direndam ke dalam air.
Garut
Serupa dengan upacara Rebo Wekasan di Kudus, warga Garut juga menggelar acara Rebo Wekasan dengan mengadakan sholat tolak bala secara perorangan di Masjid. Dalam shalat ini, terdiri dari dua rakaat, dan di setiap rakaatnya, mereka membaca Surat al-Fātiḥah sekali, Surat al-Kautsar sebanyak 15 kali, Surat al-Ikhlāṣ sebanyak 5 kali, Surat al-Falaq sebanyak 1 kali, dan Surat al-Nās sebanyak 1 kali. Setelah melaksanakan sholat, langkah selanjutnya adalah membaca doa dan mengucapkan ṣholawat bersama-sama.
Wonokromo, Jogja
Ritual adat Rebo Wekasan di Wonokromo Jogja diselenggarakan melalui sebuah doa bersama di depan masjid. Umumnya, sekitar satu minggu sebelum acara puncak akan diadakan pasar malam. Puncak acara ini biasanya jatuh pada hari Rabu terakhir dari bulan Ṣafar, yang dipercayai sebagai waktu bertemunya Sri Sultan Hamengku Buwono I dengan Kyai Faqih Usman. Kyai Faqih Usman adalah tokoh yang memainkan peran penting dalam penyebaran agama Islam di Wonokromo Jogja, juga dianggap memiliki kemampuan penyembuhan penyakit.
Tradisi ini terus dijaga dan diteruskan oleh masyarakat Jogja sebagai bentuk ungkapan rasa syukur dan harapan akan keberkahan. Tidak hanya itu, ritual ini juga memiliki tujuan untuk menolak berbagai musibah dan penyakit.
Tegal
Upacara Rebo Wekasan yang dijalankan di Suradadi, Tegal diwujudkan dalam bentuk pengajian besar, pembacaan ayat suci Al-Quran, Barzanji, serta Tahlilan. Tujuan dari pelaksanaan ini adalah agar terhindar dari berbagai bencana.
Di Lebaksiu, Tegal, tradisi ini dimulai dengan melakukan kunjungan ke situs leluhur mereka, yaitu Mbah Panggung, yang terletak di puncak bukit Sitanjung. Dalam kunjungan ini, mereka membawa persembahan berupa kemenyan, dupa, air putih kemasan, serta bunga-bungaan seperti mawar, cempaka putih, dan melati. Di tempat petilasan ini, mereka mengucapkan doa dengan harapan untuk menjauhkan diri dari nasib buruk dan musibah.
Di luar keempat daerah di atas, pada peringatan Rebo Wekasan, masyarakat Indonesia juga banyak yang melakukan selamatan. Dalam selamatan ini, tradisinya adalah membagikan hidangan nasi kepada tetangga atau saudara, atau membawa hidangan tersebut ke tempat seperti masjid atau mushalla agar dapat dinikmati bersama-sama. Bagi mereka yang tidak memiliki kemampuan untuk menyediakan hidangan nasi, alternatifnya adalah membawa makanan ringan, berbagai jenis buah, atau minuman. Keyakinan yang melekat dalam ritual selamatan ini adalah sebagai wujud pendekatan diri kepada Tuhan (taqarrub). Dengan memberikan sedekah melalui hidangan kepada sesama, masyarakat berharap untuk mendapatkan perlindungan dari berbagai ancaman bencana dan musibah yang mungkin terjadi.
Tradisi Rebo Wekasan dan Pandangan Islam
Masih dari sumber yang sama, Tradisi Rebo Wekasan di beberapa daerah Indonesia, khususnya di Jawa, merupakan hasil perpaduan ajaran Islam dengan tradisi lokal. Inspirasi ini berasal dari semangat Walisongo, para penyebar Islam di Jawa pada abad 15-16 M, yang menerapkan toleransi terhadap budaya setempat. Mereka menggabungkan elemen-elemen budaya, sistem sosial, seni, dan pemerintahan yang relevan ke dalam ajaran Islam. Ritual Rebo Wekasan, seperti kirab, pengajian, ziarah, dan selamatan, juga mengakomodasi nilai-nilai Islam. Selama ritual ini, bacaan ayat al-Qur'an dan doa tetap menjadi bagian yang utama.
Namun, ada kritik terhadap sumber rujukan dalam buku "Kanz al-Najāḥ wa al-Surūr" yang dirujuk oleh KH. Abdul Hamid, sebagai tokoh yang dikenal dalam sejarah Rebo Wekasan, karena sumber ini kurang jelas otoritasnya dan tidak memiliki identitas yang jelas. Kedua, ada kritik terhadap kualitas hadits yang menyatakan tentang turunnya berbagai bencana pada Rabu terakhir bulan Ṣafar yang dikenal sebagai Rebo Wekasan. KH. Abdul Hamid menyadari kelemahan kualitas hadits tersebut, terutama ketika dibandingkan dengan hadits Ṣaḥīḥ yang mengatakan tidak ada kesialan dalam bulan-bulan tertentu, termasuk bulan Ṣafar.
Pada akhirnya, KH. Abdul Hamid memberikan opsi kepada masyarakat yang membaca karyanya. Jika seseorang percaya adanya berbagai kesialan dan bencana di Rabu terakhir bulan Ṣafar, maka disarankan untuk melakukan berbagai amalan sebagai perlindungan. Di sisi lain, bagi yang tidak mempercayainya, mereka tidak perlu melaksanakan ritual tersebut.
Demikianlah penjelasan mengenai Tradisi Rebo Wekasan. Bagaimanapun juga, mengenal Rebo Wekasan tidak hanya berarti memahami tradisi, tetapi juga menghargai hakikat dari kebhinekaan dan nilai-nilai spiritual yang terkandung di dalamnya. Semoga bermanfaat, Lur!
Artikel ini ditulis oleh Muthia Alya Rahmawati peserta Program Magang Bersertifikat Kampus Merdeka di detikcom.
Simak Video "Melihat Prosesi Kirab Malam 1 Suro di Keraton Solo, Ada 14 Pusaka Disiapkan"
(dil/ams)