Asal-usul Rebo Wekasan, Tradisi Sakral Tolak Bala di Rabu Terakhir Bulan Safar

Asal-usul Rebo Wekasan, Tradisi Sakral Tolak Bala di Rabu Terakhir Bulan Safar

Irma Budiarti - detikJatim
Selasa, 19 Agu 2025 11:45 WIB
Warga Desa Suci, Kecamatan Manyar menggelar tradisi Rebo Wekasan. Tradisi ini turun-temurun sejak zaman Sunan Giri.
Sejarah Rebo Wekasan di Gresik. Foto: Jemmi Purwodianto/detikJatim
Surabaya -

Rebo Wekasan diyakini sebagai hari penuh ujian, sehingga masyarakat di berbagai daerah menggelar doa bersama, sedekah, dan ritual tolak bala pada Rabu terakhir bulan Safar untuk memohon keselamatan dan perlindungan dari bencana.

Nama Rebo Wekasan berasal dari bahasa Jawa, Rebo berarti Rabu, dan Wekasan berarti akhir atau pungkasan. Tradisi ini telah melekat selama berabad-abad, bukan sekadar cerita turun-temurun, melainkan jejak pertemuan antara ajaran Islam dan kearifan lokal.

Dari Wali Songo hingga Kyai Desa

Dilansir laman Nahdlatul Ulama (NU) Online, sejarah Rebo Wekasan tak lepas dari masa Islamisasi di Jawa pada abad ke-17. Wali Songo memadukan nilai Islam dengan budaya masyarakat setempat.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Simbol-simbol lokal dijadikan pintu masuk untuk menyampaikan pesan agama, termasuk ritual yang mengingatkan manusia agar selalu waspada terhadap musibah, bukan dalam arti takut pada "hari sial", tetapi sadar bahwa hidup penuh ujian yang hanya bisa dihadapi dengan doa, usaha, dan kebersamaan.

Di beberapa daerah, Rebo Wekasan dikaitkan dengan tokoh lokal. Di Jawa misalnya, ada cerita tentang Kyai Faqih Usman (Wonokromo/Welit) pada abad ke-18, yang dikenal mampu menyembuhkan penyakit dengan doa ayat suci.

ADVERTISEMENT

Sebagian ulama tasawuf klasik menyebut, pada hari Rabu terakhir bulan Safar "turun" berbagai bala atau musibah. Misalnya, Syekh Abdul Hamid Quds menuliskan angka 320.000 bala sebagai peringatan simbolis, yaitu dunia ini tak lepas dari bahaya, dan manusia perlu perlindungan Ilahi.

Namun, Islam mengajarkan tidak ada hari atau bulan yang membawa sial. Sebuah hadis Nabi menegaskan: "Tidak ada tathayyur (kesialan), tidak ada adwa (penyakit menular tanpa izin Allah), dan tidak ada Safar (bulan sial)." Artinya, doa dan amal saleh sah-sah saja dilakukan, tetapi bukan karena percaya waktu tertentu pasti mendatangkan malapetaka.

Amalan Rebo Wekasan

Pada tradisi Rebo Wekasan, masyarakat biasanya memanjatkan doa bersama memohon perlindungan, bersedekah untuk membantu sesama, serta menggelar kegiatan gotong-royong di lingkungan sekitar.

Amalan Rebo Wekasan lainnya doa bersama dan zikir, salat sunah empat rakaat dengan bacaan surat tertentu, sedekah dan pembagian makanan seperti apem atau bubur Suro, silaturahmi dan tahlilan, serta ritual mandi atau suwuk (membaca doa pada air untuk diminum atau dipakai membersihkan diri).

Semua ini tidak hanya dimaknai sebagai ritual spiritual, tetapi simbol solidaritas sosial. Orang berkumpul, saling mendoakan, berbagi rezeki, dan mengingatkan bahwa musibah apa pun dapat dihadapi jika masyarakat bersatu.

Ulama arus utama menegaskan, tidak ada tuntunan syar'i khusus mengenai Rebo Wekasan. Amalan apapun tetap bernilai jika dilakukan karena niat mendekatkan diri kepada Allah, bukan karena percaya "hari celaka". Bukan mengusir "nasib buruk", tetapi menguatkan iman dan mengikat tali sosial agar siap menghadapi ujian hidup.

Rebo Wekasan adalah contoh indah akulturasi Jawa dan Islam. Ia bukan sekadar hari ritual, tetapi cermin cara masyarakat mengubah ketakutan menjadi kekuatan spiritual lewat doa dan tawakal, dan kekuatan sosial lewat gotong-royong dan solidaritas.

Tradisi ini mengajarkan bahwa bala tidak diusir dengan rasa takut, melainkan dihadapi dengan iman, amal, dan kebersamaan. Dalam ketidakpastian hidup, Rebo Wekasan menjadi pengingat: hari apa pun bisa menjadi baik, jika diisi dengan kebaikan.




(auh/irb)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads