Bangunan Menara peninggalan Sunan Kudus menjadi simbol akulturasi budaya di Kudus, Jawa Tengah. Bangunan ini juga menjadi potret toleransi umat beragama warisan nenek moyang. Seperti apa sejarahnya?
Menara Kudus menjadi bangunan bersejarah di Kabupaten Kudus. Menara ini memiliki ketinggian sekitar 18 meter dengan bagian dasar berukuran 10 meter x 10 meter. Bangunan menara mirip sebuah candi zaman Hindu.
Di halaman 45 buku karya Solichin Salim tahun 1994 yang berjudul 'Kudus Selayang Pandang' dijelaskan asal usul berdirinya bangunan menara. Konon bangunan bersejarah tersebut dibangun di bawah sebuah banyu panguripan atau dalam bahasa Indonesia, air kehidupan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Konon di bawah Menara Kudus ada 'banyu panguripan'," tulis buku tersebut seperti dikutip detikJateng, Sabtu (11/2/2023).
"Sesudah datangnya agama Islam maka banyu panguripan tersebut ditutup oleh Sunan Kudus dan di atasnya dibangun sebuah menara yang memiliki kaya bangunan seperti sebuah candi terbuat dari bata merah tanpa semen," lanjutnya.
Dalam buku tersebut dijelaskan menara bukan berasal dari candi. Hal ini didasarkan pada relung-relung di tubuh menara yang tidak terdapat arca. Justru di relung tersebut dikosongkan.
"Begitu pula di atas pintu Menara Kudus (menghadap ke barat) tidak ada makara seperti biasanya yang terdapat pada sebuah candi," terangnya.
Oleh karena itu dalam buku yang ditulis tahun 1994 tersebut disimpulkan Menara Kudus dibangun bukan dari bekas candi. Menara Kudus dibangun pada masa transisi Majapahit ke Islam.
"Sutjipto Wirjosuparto mengambil kesimpulan bahwa Menara Kudus itu bukan bekas candi, tapi dibangun pada masa transisi dari Zaman Majapahit ke Islam," jelasnya.
Terpisah Dosen Filsafat dan Budaya IAIN Kudus, Nur Said mengatakan momen Ta'sis ke 488 tahun ini menjadi spirit semangat Kudus menjadi tumbuhnya perkembangan Islam toleran. Hal ini dibuktikan dengan berdirinya bangunan Menara Kudus.
"Jadi yang jelas spirit yang bisa diambil adalah semangat menjadi Kudus sebagai titik tolak tumbuhnya Islam toleran di Indonesia. Buktinya ada ini Menara Kudus," jelas Kang Said sapaannya kepada detikJateng ditemui di kampus IAIN Kudus.
Menurutnya selain adanya akulturasi budaya melalui menara, juga ada tradisi warga Kudus yang tidak menyembelih sapi, melainkan kerbau. Hal tersebut menunjukan toleransi yang ada di Kudus.
"Kisah tentang di Kudus mencoba korban menyembelih kerbau, ini semua tanda budaya yang dimaknai, peringatan ta'sis mengabarkan seluruh dunia, Islam di Indonesia Islam yang santun, Islam yang moderat, ini sudah diajarkan oleh Sunan Kudus sejak abad ke 15 Masehi," tambahnya.
(aku/ams)