Gedhong Prabayeksa adalah salah satu bangunan inti di kompleks Keraton Kesultanan Yogyakarta Hadiningrat. Gedhong untuk menyimpan benda-benda pusaka ini ternyata juga menyimpan satu legenda tentang Kyai Jegot, jin penunggu hutan Karangasem Gunungkidul yang kondang angker pada zaman dulu. Begini ceritanya.
Kyai Jegot adalah salah satu legenda dalam buku Antologi Cerita Rakyat Daerah Istimewa Yogyakarta yang diterbitkan Pusat Bahasa pada 2004. Legenda atau cerita rakyat yang berhubungan dengan sejarah ini mengisahkan tentang masa awal Pangeran Mangkubumi atau Hamengku Buwono (HB) I membangun Keraton Jogja.
Seperti diketahui, setelah perang panjang antarsaudara keturunan Mataram berakhir dengan Perjanjian Giyanti pada 1755, HB I diberi kekuasaan di daerah Ngayogyakarta. Dalam legenda Kyai Jegot diceritakan, saat HB I membangun Keraton Jogja, banyak rakyat yang membantu dengan suka rela.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Suatu hari saat berkeliling memeriksa jalannya pembangunan keraton bersama para penasihat dan pembantunya, HB I berhenti di tempat yang dipilih untuk mendirikan bangunan bernama Prabyaksa. Kepada patihnya, HB I meminta agar Prabeyaksa dibangun dengan kayu jati yang benar-benar kuat dan tua.
Sebagai bangunan penting, Prabeyaksa harus dapat berdiri selama mungkin. Sehingga membangunnya pun harus cermat, tidak boleh sembarangan. Sang patih menyatakan telah mengutus para abdi dalem untuk mengambil batang kayu jati terbaik dari hutan Karangasem di Gunungkidul.
"Bukankah hutan itu dijaga oleh banyak makhluk halus dan binatang buas?" tanya HB I dengan setengah menguji kesetiaan rakyatnya.
Sebelum berangkat ke hutan, rombongan abdi dalem itu berpuasa dulu agar tak menemui marabahaya. Mereka juga dipesan agar menebang pohon jati yang benar-benar sudah tua, tidak serampangan.
Setelah bertemu bermacam ular berbisa hingga harimau yang merintangi jalan, sampailah mereka pada pohon jati yang dicari. Namun, saat pohon itu akan ditebang, terdengar suara bergaung memenuhi kawasan hutan Karangasem. "Jika engkau jin, jangan ganggu kami," kata pemimpin abdi dalem.
Tentang tawar-menawar Kyai Jegot dengan HB I silakan baca di halaman selanjutnya...
"Aku Kyai Jegot! Penunggu pohon jati yang akan kau tebang ini," kata suara di hutan itu. Kyai Jegot mengizinkan pohon itu ditebang asalkan dia tetap dibolehkan tinggal di dalamnya. Jika tidak, Kyai Jegot mengancam akan melawan para abdi dalem itu dan Sultan.
Singkat cerita, Sultan HB I tidak keberatan dengan permintaan Kyai Jegot. Syaratnya, Kyai Jegot harus mau menjaga Keraton Jogja selamanya, termasuk keraharjaannya. Setelah tercapai kesepakatan, pohon jati itu ditebang, diukur, dan dibelah-belah lalu dibawa ke keraton untuk membangun Gedung Prabayeksa.
Menurut empunya cerita, Kyai Jegot konon masih menjalankan perintah HB I sampai sekarang, yaitu menjaga Gedung Prabayeksa dan Keraton Jogja. Gedung Prabayeksa pun hingga kini masih kokoh memancarkan kewibawaan dan kemegahan.
Dikutip dari laman Balai Pelestarian Cagar Budaya Provinsi DIY, nama Prabayeksa dari kata Praba yang berarti cahaya dan Yeksa yang berarti raksasa atau besar. Jadi, Prabayeksa artinya cahaya yang besar atau terang.
Pada kayu blandar Gedung Prabayeksa terdapat tulisan Jawa yang merupakan candrasengkala Kala Jumenenganipun Kagungan Dalem Prabayeksa Sinengkalan Warna Sanga Rasa Tunggal, yang menunjukkan tahun 1694 Jawa atau 1768 M. Angka tersebut menunjukkan tahun pendirian atau selesainya pembangunan Gedhong Prabayeksa.
Dalam laman Warisan Budaya Kemdikbud disebutkan, tiap Sugengan Tingalan Dalem Jumenengan atau upacara selamatan ulang tahun penobatan raja di Keraton Jogja, selalu disediakan sesaji khusus untuk Kyai Jegot. Sesaji itu berupa botol jenewer, sebotol legen dan satu tube candu, roti, beberapa batang rokok, kopi tanpa gula, jadah, mata uang yang diberi warna putih dengan kapur, dan seekor ayam hidup.
Sedangkan sesaji untuk saka guru atau tiang utama Bangsal Kencana dan Bangsal Prabayeksa terdiri dari tumpeng pustaka dan tumpeng woran.