Mantrijeron merupakan salah satu wilayah di Kota Jogja yang memiliki sejarah dan kisah tentang prajurit Keraton Jogja. Dari namanya, Mantrijeron berasal dari kata Mantrijero yang merupakan nama salah satu pasukan atau bregada Keraton Jogja.
Penamaan itu tak lepas dari cikal bakal daerah tersebut sebagai permukiman para prajurit Mantrijero. Dikutip dari website Keraton Jogja, Rabu (16/2/2022), nama Bregada Mantrijero berasal dari kata mantri dan jero.
Bregada Mantrijero
Mantrijero, berasal dari kata mantri berarti juru bicara, menteri atau jabatan di atas bupati. Kemudian jero, yang berarti dalam.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Prajurit Mantrijero memiliki kewenangan untuk ikut ambil bagian dalam memutuskan hal-hal dalam lingkungan Keraton Jogja.
Klebet atau panji untuk prajurit Mantrijero adalah Purnamasidhi. Bentuknya persegi panjang dengan warna dasar hitam, kemudian pada bagian tengahnya terdapat lingkaran warna putih.
Purnamasidhi berasal dari kata Purnama yang berarti bulan penuh dan sidhi berarti sempurna. Klebet ini memiliki makna bahwa Mantrijero adalah pasukan yang diharapkan selalu memberikan cahaya dalam kegelapan.
Senjata yang digunakan oleh anggota Bregada Prajurit Mantrijero adalah tombak (waos) dan senapan. Tombak pusakanya bernama Kanjeng Kiai Cakra dengan bentuk ujung (dapur) yang dinamakan Cakra.
Pada saat berjalan cepat (mars), Bregada Prajurit Mantrijero diiringi dengan Gendhing Plangkenan/Mars Setok. Apabila berjalan lambat (lampah macak) akan diiringi dengan Gendhing Slagunder/ Restopelen.
Pindahnya permukiman prajurit Keraton Jogja
Menurut kajian periset di Museum Ullen Sentalu Jogja, Yosef Kelik, yang dilansir website Ullen Sentalu, menyebutkan sebelum era Sultan Hamengkubuwana IV (1814-1823), para prajurit Mantrijero tinggal di bagian dalam kompleks perbentengan Keraton Jogja. Hingga akhirnya pada masa pemerintahan Sultan Hamengkubuwana IV berlangsung pemindahan lokasi permukiman para prajurit keraton dari dalam benteng keraton (Njeron Beteng) ke luar benteng (Njaban Beteng).
Permukiman tempat tinggal para prajurit Mantrijero pun mendapat nama Mantrijeron pada masa Sultan HB IV.
Para prajurit Mantrijero disebut termasuk dalam daftar 10 bregada prajurit Keraton Jogja yang kembali 'dihidupkan' oleh Sultan Hamengkubuwana IX pada 1970, setelah sebelumnya sempat dibubarkan karena tekanan politik pihak Jepang.
Dalam catatan sejarah Keraton Jogja, Mantrijero bisa digolongkan dalam satuan elit. Pada saat momen penting seperti penobatan Sultan, dua prajurit Mantrijero bersenjata kelewang didapuk sebagai pengawal terdekat bagi Sultan dan Permasuri.
Selama prosesi, dua prajurit itu menempatkan diri di kiri-kanan Sultan serta Permaisuri. Dengan demikian, dua prajurit Mantrijero itu bertugas bersama delapan prajurit Nyutra bersenjata tombak yang berbaris di beberapa langkah di depan.
Mantrijeron saat ini
Kini kampung tempat tinggal para prajurit keratin ini secara administrasi merupakan wilayah kemantren, nomenklatur khas di Jogja untuk menyebut daerah setingkat kecamatan di lingkup Kota Yogyakarta
Kampung Mantrijeron berada di sebelah timur Kampung Mangkuyudan, juga berada di sebelah utara Kampung Jagakaryan.
Dikutip dari website mantrijeronkec.jogjakota.go.id, secara geografis Kemantren Mantrijeron terletak di Kota Yogyakarta bagian selatan, berbatasan dengan Kabupaten Bantul. Luasnya mencapai 2,61 km2 dan masih memiliki area persawahan seluas 1 Ha. Penduduk Kemantren Mantrijeron berdasarkan registrasi penduduk hingga Juni 2020 sejumlah 35.666 jiwa dengan sex ratio 94,69.
Kemantren Mantrijeron terbagi menjadi tiga kelurahan:
- Kelurahan Gedongkiwo
- Kelurahan Suryodiningratan
- Kelurahan Mantrijeron.
Secara keseluruhan Kemantren Mantrijeron terdiri dari 12 Kampung, 55 RW dan 231 RT.
(sip/aku)