Cerita Pengusaha Stik Sukun di Klaten, Modal Jual Motor Kini Punya 33 Pegawai

Cerita Pengusaha Stik Sukun di Klaten, Modal Jual Motor Kini Punya 33 Pegawai

Achmad Hussein Syauqi - detikJateng
Minggu, 27 Okt 2024 15:00 WIB
Karyawan stik sukun di rumah Dwi sedang beraktivitas produksi, Sabtu (26/10/2024).
Karyawan stik sukun di rumah Dwi sedang beraktivitas produksi, Sabtu (26/10/2024). Foto: Achmad Hussein Syauqi/detikJateng
Klaten -

Di tangan Sengon Rus Dwiyono (41) warga Desa Plawikan, Kecamatan Jogonalan, Klaten buah sukun yang dianggap biasa justru menghadirkan rezeki berlimpah. Buah dengan nama latin artocarpus altilis itu diubah menjadi camilan stik lezat yang sudah merambah pasar ekspor Malaysia.

"Yang saya kirim langsung terjauh itu ke Yogya, tapi kalau yang ambil dan dikirim lewat ekspedisi itu ada yang ke Cilacap, Bandung, Jakarta, Surabaya, Kalimantan, dan lainnya. Bahkan ada yang ke Malaysia," ungkap Sengon Rus Dwiyono kepada detikJateng di rumahnya, Sabtu (26/10/2024) siang.

Pria yang akrab dipanggil Dwi itu memulai perjuangannya sejak tahun 2009 dengan berjualan sukun. Dia mencoba berjualan buah itu karena melihat melihat orang membawa se bronjong buah sukun saat naik bus.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Awalnya lihat orang bawa sukun pakai rombong, suatu ketika saya samperin. Dari situ awalnya tahun 2009, saya ambil sukun di Klaten sampai 2012 lalu saya kirim ke Cilacap," tutur Dwi, yang ayah dua putra tersebut.

Namun, sambung Dwi, bisnis menjual buah sukun itu terkendala saat panen habis dirinya kembali menganggur. Saat itulah muncul ide mengolah sukun menjadi makanan yang lebih awet dengan dibuat stik di tahun 2012. Dia pun rela menjual motornya sebagai modal awal bisnis tersebut.

ADVERTISEMENT

Perjuangannya juga bisa dibilang tak mudah. Awal-awal berjualan banyak toko yang ditawari menolak karena khawatir stik sukun buatannya keras seperti umumnya.

"Jadi tahun 2012 itu mulai merintis produksi. Baru produksi tiga hari langsung libur karena bingung mau menjualnya kemana, kita tawarkan ke grosir camilan dan toko oleh-oleh dari Kartasura-Semarang-Yogyakarta balik lagi ke Klaten tidak ada respon, bahkan untuk nyicipi saja nggak mau," kata Dwi.

Namun dengan berbagai upaya Dwi akhirnya bisa meyakinkan pasar. Seiring Waktu, kini produksinya bisa 5-7,5 kwintal setiap harinya.

"Saat puncak panen sukun kita bisa produksi 5- 7,5 kwintal sukun matang per hari atau menyerap 2 ton sukun mentah. Ya bisnis ini menjanjikan karena sukun mentah harganya Rp 4.000 tapi kalau sudah kita masak bisa Rp 40.000 per kilogram," lanjut Dwi.

Yang paling sulit dalam produksi camilan stik sukun, terang Dwi, adalah menjaga kualitas, terutama cita rasa. Untuk menjaga kualitas mulai dari cara memilih buah sukun sampai menggoreng tidak bisa asal-asalan.

"Kalau memilih buah sampai menggoreng cuma asal-asalan pasti keras dan tidak sesuai harapan. Menjaga kualitas ini yang sulit, apalagi saya perintis awal di Klaten," sambung Dwi.

Pada puncak panen buah sukun, ujar Dwi, omzet kotornya bisa mencapai Rp 20 juta per hari dan per bulan bisa mencapai ratusan juta rupiah. Di rumah produksinya, stik sukun memiliki kekhasan tersendiri karena dimasak alami.

"Ciri khas disini goreng alami pakai kayu bakar, dengan kayu rasanya beda karena lebih enak daripada dengan kompor gas. Di Klaten kini sudah ada 20 orang yang produksi stik tapi beda dengan kita rasanya," papar Dwi yang mengaku sempat kuliah di pendidikan ekonomi UNY Yogyakarta tapi tidak lulus itu.

Saat ini di rumah produksinya, ucap Dwi, mempekerjakan sekitar 33 orang, terutama warga sekitar rumahnya. Jika dihitung dengan tukang petik dan tenaga lainnya yang musiman, jumlah tenaga kerja bisa 3 bus (150 orang).

"Kalau pas piknik itu kita bawa semua sampai tiga bus. Paling ramai permintaan stik ya Desember - Januari karena libur tahun baru dan lebaran, bahkan pembeli di Cilacap itu ada yang seminggu minta dua ton," sebut Dwi.

Saat pandemi Covid, tambah Dwi, usahanya juga sempat lesu dan produksi turun hanya tersisa 10 persen. Namun kemudian pelan - pelan permintaannya mulai bangkit lagi.

"Sempat libur tapi bangkit lagi, saat Covid omset tinggal 10 persen dan sempat menganggurkan karyawan tapi kemudian bisa bangkit lagi," pungkas Dwi.




(afn/afn)


Hide Ads