Sampah masih menjadi permasalahan serius di Kota Jogja. Berangkat dari hal itu, Forum Komunikasi Winongo Asri (FKWA) berinisiatif melakukan pengolahan sampah dengan metode budidaya maggot.
Budidaya maggot atau larva lalat buah ini dilakukan untuk menekan sampah olahan dapur yang dibuang warga Kalurahan Kricak, Kemantren Tegalrejo, Kota Jogja. Bahkan, bagi warga yang mau melakukan pemilahan sampah, FKWA bakal membayarnya.
Ketua FKWA Endang Rohjiani (50) menjelaskan awalnya pihaknya fokus terhadap lingkungan khususnya di sungai-sungai yang banyak terdapat sampah.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Saat menemukan lokasi ini masih banyak tumpukan sampah karena di pinggir sungai Winongo. Gerakan FKWA merubah titik-titik sampah menjadi ruang terbuka hijau, waktu itu sama Bappeda melakukan program penataan kawasan sungai," katanya saat ditemui di tempatnya bekerja, Kota Jogja, Selasa (1/11/2022).
Dari situ, setiap tahun pihaknya melakukan penanaman sengon di sempadan Sungai Winongo. Hal itu berlanjut dengan menghentikan titik sampah di satu RT dekat bantaran sungai karena sering membuang sampah di sungai tersebut tahun 2018.
"Nah, yang jadi masalah sampah itu kebanyakan organik. Di Kota Jogja ada 563 bank sampah, hampir setiap RW itu ada. Tapi kok buang sampah ke Piyungan tetap 360 ton per hari, nah bank sampah itu kemana?," ujarnya.
Karena itu, saat pandemi COVID-19 kemarin, Endang tercetus untuk mengolah sampah organik warga Kricak. Warga Kalurahan Bumijo, Kapanewon Jetis, Kota Jogja ini menilai kebanyakan sampah yang dibuang ke tempat pembuangan akhir (TPA) Piyungan, Bantul merupakan sampah organik.
"Memulai ini satu tahun yang lalu, saat pandemi. Saya bermain di sampah organik karena salah satu alasannya 58,8% yang ke TPA Piyungan itu adalah sampah organik. Karena masyarakat menyepelekan, tinggal buang saja," ucapnya.
"Fokus Kricak karena lahan ada dan coba 2 RW dulu. Terus ditantang Bu Lurah pegang satu Kalurahan saja dan saya terima itu. Alhamdulillah kami per hari bisa mengolah 200-300 kilogram sampah olahan dapur. Ini hanya di Kricak dulu," imbuh Endang.
![]() |
Dari situ, Endang mulai mengembangkan pusat pengolahan sampah organik dengan biokonversi, yaitu kandang maggot Jogja. Sementara untuk sistem pengumpulan sampah organiknya, ia mengandalkan kolektivitas tiap RT dan dasawisma.
Di mana untuk mendapat setidaknya masing-masing satu ember ukuran sedang. Dari 13 RW yang terlibat, pihaknya pun mampu mengumpulkan 300 kilogram sampah organik per hari.
"Apresiasi tentu kami berikan kepada warga. Jadi, tiap warga yang bersedia melakukan pemilahan sampah, kami berikan Rp 130 per kilogram, atau Rp 3.500 per ember," ujarnya.
Selanjutnya, sampah tersebut diolah hingga menghasilkan maggot. Menurutnya, dengan maggot bisa mengolah sampah hingga berkilo-kilo dalam 24 jam.
"Dari sampah ini digiling dulu, lalu dikasihkan ke kotak, dan akan dimakan. Kalau satu bak itu dikasi 10 gram telur maggot. Jadi logikanya 10 ribu maggot itu bisa menyelesaikan 2 kg sampah per 24 jam. Jadi pagi ini kita isi 2 kg sampah dan besok pagi habis," katanya.
Simak selengkapnya di halaman berikutnya...