Tanjakan Gombel di Semarang sejak lama dikenal sebagai jalur angker. Banyak cerita warga sekitar dan pengendara yang melintas mengaku melihat penampakan. Tak heran, lokasi ini lekat dengan mitos 'wewe gombel'.
Wewe Gombel adalah sosok perempuan tua berambut panjang dalam cerita rakyat Jawa. Konon, ia menculik anak-anak yang telantar atau tak terurus. Nama Gombel kemudian melekat karena diyakini menjadi tempat bersemayamnya makhluk halus tersebut.
Tanjakan Gombel terletak di Kelurahan Tinjokoyo, Kecamatan Banyumanik, Kota Semarang. Tanjakan itu memang dikelilingi hutan kota sehingga membuat kesan angker makin terasa. Terlebih sejuknya pepohonan membuat hawa terkesan dingin.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Warga yang tinggal puluhan tahun di sekitar Gombel berinisial FB (52), mengaku sudah sejak kecil hidup di kawasan tersebut. Ia tak menampik bahwa cerita mistis memang sering terdengar dari orang luar.
"Kalau orang baru atau pendatang sering bilang lihat hantu, dijegal, atau ada ular besar lewat. Tapi saya sendiri lahir di sini, belum pernah ngalami," kata FB kepada detikJateng di rumahnya, Selasa (30/9/2025).
"Ceritanya yang paling hangat ada yang lihat ular besar, yang kalau dikira-kira ya nggak mungkin ada ular sebesar itu," lanjutnya.
Pria yang rumahnya hanya selemparan batu dengan tanjakan Gombel Baru itu juga mengingat jalan tersebut dulunya masih dua arah dan kerap terjadi kecelakaan, terutama truk rem blong.
"Dulu saya sering bantu orang berdarah karena kecelakaan. Tapi sejak ada tol, sudah jauh berkurang," ujarnya.
Namun, terkait asal-usul penamaan tanjakan Gombel, ia mengaku kurang mengetahuinya. Sejak ia lahir, kata dia, nama jalanan tersebut sudah disebut 'Tanjakan Gombel'.
"Namanya kan Gombel karena sering dikaitkan dengan 'wewe gombel', tapi saya kurang mengerti sejarah asal-usul namanya," ujarnya.
Ia berkisah, dulunya di bukit Gombel terdapat hotel yang masih beroperasional sehingga tak menyeramkan. Bahkan terdapat kolam renang yang sering dijadikan tempat bermain anak-anak di sekitar kawasan tersebut.
![]() |
"Waktu kecil saya main di bukit itu, di hotel itu saya main di situ, kan dulu belum ada hiburan. Karena air di sini susah, mandi ya di situ," jelasnya.
Namun, suasana angker mulai muncul kala hotel itu tutup. Ia mengaku tak mengetahui kapan tepatnya hotel di kawasan itu akhirnya tutup.
"Di sana nggak ada makam sama sekali, dulunya hotel. Sejak hotel tutup, mitos angkernya tambah. Dulu ngerinya karena jalan Gombel tanjakan. Apalagi sempat buat acara-acara horor," ungkapnya.
Meski cerita mistis masih beredar, ia menilai suasana Gombel saat ini tak semenyeramkan dulu karena penerangan jalan sudah lebih baik.
"Dulu seramnya karena rawan kecelakaan. Setelah hotel tutup, cerita horornya makin banyak. Tapi sekarang lampunya ramai, jadi agak beda," kata dia.
Siti Riwayati (74), warga lain, juga menyebut kecelakaan kerap terjadi di era sebelum tol. Siti sendiri merupakan salah satu warga yang tertua di perkampungan dekat tanjakan Gombel Baru.
"Dulu tiap bulan ada kecelakaan. Saya sering dengar orang nangis. Anak saya yang nggotongi wong (orang) kecelakaan," kata Siti.
Namun Siti menegaskan, dirinya tak pernah melihat penampakan meski sering melintas. Ia hanya kerap mendengar orang-orang lain bercerita pengalaman mistisnya. Bahkan, ia pernah mendengar cerita orang yang melihat adanya 'istana' di bukit Gombel.
"Ada yang bilang ke saya katanya kelihatannya di sana ada istana, ramai. Kalau aku lihat itu bukan jalan, tapi istana. Tapi kalau diterjang dari sini jalan ke sana ya tetap jalan raya," lanjutnya.
"Asal kita nggak ganggu ya aman. Orang luar saja biasanya yang cerita macam-macam, ada perempuan melambai, genderuwo, laki-laki. Kalau saya tiap hari lewat sini, nggak pernah lihat apa-apa," imbuhnya.
Sementara itu, pemerhati sejarah Johanes Christiono menyebut, nama Gombel sudah ada dalam peta era kolonial awal 1900-an. Sehingga tidak benar jika istilah itu muncul karena sosok mistis 'wewe gombel'.
"Jadi bukan karena apa ada yang ngomong setelah apa perang kemerdekaan terus jadi gerakan operasi militer Belanda. Nggak, karena di situ tidak ada Kompleks Militer Belanda, yang ada kan di Jatingaleh," kata Johanes saat dihubungi detikJateng.
"Nggak ada sangkut pautnya sama wewe gombel. Itu kan namanya cerita rakyat kemudian kan berkembang. Selain kalau kita bicara sejarah, kadang kan juga ada cerita rakyat, itu kita hati-hati supaya tidak nyampur," lanjutnya.
Terlebih, di tengah suasana mistis itu muncul sebuah monumen kecil di tepi tanjakan Gombel Baru yang kerap disebut sebagai makam. Padahal, kata Johanes, monumen itu merupakan altar doa.
"Itu sebetulnya bukan makam, tetapi altar doa. Dibangun tahun 1973 oleh seorang pengusaha angkutan yang juga pemerhati budaya. Tujuannya untuk tolak bala karena saat itu sering kecelakaan di jalur dua arah," tuturnya.
"Gombel Baru kan dulu dua arah, naik dan turun. Kendaraan berat yang turun itu sering blong di situ, kecelakaan dan menyebabkan banyak korban," sambungnya.
Johanes menyebut, altar itu dibangun tengah malam dengan melibatkan beberapa orang. Salah satu saksi yang ia temui adalah The Han Tong, yang saat itu masih SMP dan diminta ikut mendirikan altar.
"Semalam selesai, paginya sudah ditinggalkan. Ada tulisan Mandarin 'Amitofu' atau 'Amitaba' yang maknanya doa keselamatan dalam ajaran Buddha," jelasnya.
Menurut Johanes yang kerap berburu makam, banyak orang yang keliru menganggap bangunan itu sebagai kuburan korban kecelakaan atau bahkan kuburan bayi.
"Itu ada yang nganggap yang tidak tahu itu menganggap itu kuburan bayi, kuburan korban kecelakaan. Ada yang menganggap tetenger (tanda) karena di situ ada pasangan manten yang meninggal kecelakaan. Tapi itu orang-orang yang tidak paham," jelasnya.
"Sejak era Belanda, di peta kolonial, Gombel tidak pernah tercatat ada kompleks makam. Kuburan adanya di daerah Bangkong, Sriwijaya, sampai Kedungmundu. Jadi klaim ada pemindahan makam Gombel itu salah," lanjutnya.