Kawasan Gombel di Semarang lekat dengan kisah mistis dan kecelakaan lalu lintas. Salah satunya yakni cerita miring soal makam di lokasi tersebut yang rupanya adalah altar doa untuk tolak bala.
Sebuah monumen kecil berwarna putih dengan tulisan aksara Mandarin tampak mencolok di tepi jalan menanjak Gombel Baru, Kecamatan Banyumanik, Kota Semarang. Letaknya persis di sisi kanan jalur menanjak, diapit rerumputan liar yang tumbuh lebat.
Dari kejauhan, bentuknya menyerupai nisan makam etnis Tionghoa alias bong. Tak heran jika banyak orang mengira bangunan itu adalah kuburan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Namun, pemerhati sejarah, Johanes Christiono menegaskan, bangunan kecil di tepi tanjakan Gombel Baru itu bukanlah makam sebagaimana diyakini sebagian orang.
"Itu sebetulnya bukan makam, tetapi altar doa. Dibangun tahun 1973 oleh seorang pengusaha angkutan yang juga pemerhati budaya. Tujuannya untuk tolak bala karena saat itu sering kecelakaan di jalur dua arah," kata Johanes saat dihubungi detikJateng, Senin (30/9/2025).
"Gombel Baru kan dulu dua arah, naik dan turun. Kendaraan berat yang turun itu sering blong di situ, kecelakaan dan menyebabkan banyak korban," sambungnya.
Johanes menyebut, altar itu dibangun tengah malam dengan melibatkan beberapa orang. Salah satu saksi yang ia temui adalah The Han Tong, yang saat itu masih SMP dan diminta ikut mendirikan altar.
"Semalam selesai, paginya sudah ditinggalkan. Ada tulisan Mandarin 'Amitofu' atau 'Amitaba' yang maknanya doa keselamatan dalam ajaran Buddha," jelasnya.
![]() |
Menurut Johanes yang kerap berburu makam, banyak orang yang keliru menganggap bangunan itu sebagai kuburan korban kecelakaan atau bahkan kuburan bayi.
"Itu ada yang nganggap yang tidak tahu itu menganggap itu kuburan bayi, kuburan korban kecelakaan. Ada yang menganggap tetenger (tanda) karena di situ ada pasangan manten yang meninggal kecelakaan. Tapi itu orang-orang yang tidak paham," jelasnya.
"Sejak era Belanda, di peta kolonial, Gombel tidak pernah tercatat ada kompleks makam. Kuburan adanya di daerah Bangkong, Sriwijaya, sampai Kedungmundu. Jadi klaim ada pemindahan makam Gombel itu salah," lanjutnya.
Johanes menambahkan, nama Gombel sendiri sudah ada dalam peta era kolonial awal 1900-an. Sehingga tidak benar jika istilah itu muncul karena sosok mistis 'wewe gombel'.
"Jadi bukan karena apa ada yang ngomong setelah apa perang kemerdekaan terus jadi gerakan operasi militer Belanda. Nggak, karena di situ tidak ada Kompleks Militer Belanda, yang ada kan di Jatingaleh," tuturnya.
"Nggak ada sangkut pautnya sama wewe gombel. Itu kan namanya cerita rakyat kemudian kan berkembang. Selain kalau kita bicara sejarah, kadang kan juga ada cerita rakyat, itu kita hati-hati supaya tidak nyampur," lanjutnya.
Warga yang tinggal puluhan tahun di sekitar Gombel juga mengamini bahwa tempat itu bukanlah kuburan. Warga berinisial FB (52), mengatakan altar doa itu kerap disebut petilasan dan dibangun salah satu sopir bus.
"Itu sopir bus yang mendirikan petilasan. Dulu lokasinya nggak di sana, tapi terus ketabrak, akhirnya dipindah, tadinya di dekat reklame," jelasnya.
Terkadang, kata dia, terdapat sesaji berupa buah-buahan dari keluarga para korban kecelakaan di tanjakan Gombel Baru di atas petilasan itu.
"Ada yang suka doa-doa di sana, dari keluarga korban kecelakaan. Sekarang disalahgunakan orang-orang yang suka mistis, katanya nyari nomor," ungkapnya.
Ia yang sejak kecil hidup di kawasan tersebut, menuturkan bahwa cerita mistis memang sering terdengar dari orang luar.
"Kalau orang baru atau pendatang sering bilang lihat hantu, dijegal, atau ada ular besar lewat. Tapi saya sendiri lahir di sini, belum pernah ngalami," kata dia kepada detikJateng di rumahnya.
"Ceritanya yang paling hangat ada yang lihat ular besar, yang kalau dikira-kira ya nggak mungkin ada ular sebesar itu," lanjutnya.
Pria yang rumahnya hanya selemparan batu dengan tanjakan Gombel Baru itu juga mengingat jalan tersebut dulunya masih dua arah dan kerap terjadi kecelakaan, terutama truk rem blong.
"Dulu saya sering bantu orang berdarah karena kecelakaan. Tapi sejak ada tol, sudah jauh berkurang," ujarnya.
"Namanya kan Gombel karena sering dikaitkan dengan 'wewe gombel', tapi saya kurang mengerti sejarah asal-usul namanya," ujarnya.
Meski cerita mistis masih beredar, ia menilai suasana Gombel tak semenyeramkan dulu karena penerangan jalan sudah lebih baik.
"Dulu seramnya karena rawan kecelakaan. Setelah hotel tutup, cerita horornya makin banyak. Tapi sekarang lampunya ramai, jadi agak beda," jelasnya.
Siti Riwayati (74), warga lain, juga menyebut kecelakaan kerap terjadi di era sebelum tol. Siti sendiri merupakan salah satu warga yang tertua di perkampungan dekat tanjakan Gombel Baru.
"Dulu tiap bulan ada kecelakaan. Saya sering dengar orang nangis. Anak saya yang nggotongi wong (orang) kecelakaan," kata Siti.
Namun Siti menegaskan, dirinya tak pernah melihat penampakan meski sering melintas. Ia hanya kerap mendengar orang-orang lain bercerita pengalaman mistisnya. Bahkan, ia pernah mendengar cerita orang yang melihat adanya 'istana' di bukit Gombel.
"Ada yang bilang ke saya katanya kelihatannya di sana ada istana, ramai. Kalau akunlihat itu bukan jalan, tapi istana. Tapi kalau diterjang dari sini jalan ke sana ya tetap jalan raya," lanjutnya.
"Asal kita nggak ganggu ya aman. Orang luar saja biasanya yang cerita macam-macam, ada perempuan melambai, genderuwo, laki-laki. Kalau saya tiap hari lewat sini, nggak pernah lihat apa-apa," imbuhnya.