Kasus dugaan penganiayaan yang dilakukan seorang dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Sultan Agung (Unissula) terhadap dokter anestesi di RSI Sultan Agung, Semarang, dilaporkan ke Polda Jateng oleh alumni Fakultas Kedokteran (FK) Unissula. Ketua Komite RSI Sultan Agung, Pujiati, menegaskan proses hukum kasus itu harus tetap berjalan.
"Tim lawyer itu ada alumni. Jadi kasus ini udah kami laporkan ke Polda kemarin hari Jumat (12/9). (Terlapor siapa?) Yang melakukan pemukulan," kata Pujiati di RSI Sultan Agung, Kecamatan Genuk, Kota Semarang, Minggu (14/9/2025).
Meski ada kabar pihak pelaku sudah meminta maaf, Pujiati menilai proses hukum tidak bisa berhenti begitu saja.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Sebagai hamba Allah kan saling memaafkan. Tindak kekerasannya tetap harus proses. Karena ini negara hukum, tidak ada yang kebal hukum," lanjutnya.
Ia menyebut, kekerasan fisik maupun verbal terhadap dokter di RSI Sultan Agung itu tidak dapat dibenarkan. Pujiati menyinggung terduga pelaku, Dias Saktiawan, yang merupakan dosen Fakultas Hukum (FH) Unissula.
"Apalagi yang bersangkutan latar belakangnya adalah dosen hukum. Harusnya tahu hukum, kan? Melakukan tindak kekerasan kan jelas tidak dibenarkan," tegasnya.
Menurutnya, kasus ini menjadi momentum bagi tenaga medis untuk menunjukkan profesionalitas sekaligus menolak anggapan bahwa dokter bisa dijadikan sasaran amarah.
"Jadi dengan dengan adanya ini menjadi titik awal untuk kita membuktikan bahwa kami itu profesional dalam berpraktik. Kalau ada ketidakpuasan, sampaikan bahwa mereka tidak puas, dengan cara yang smooth, bikin surat. Jangan melakukan tidak kekerasan karena kalau kekerasan di negara hukum ada konsekuensinya," imbuh Pujiati.
Saat ditanya soal dugaan intimidasi terhadap sejumlah dokter yang terlibat dalam aksi menyikapi kasus ini, Pujiati enggan berkomentar lebih jauh.
"Saya nggak mau memberi komentar soal itu," tegasnya.
Adapun, kabar dugaan pemukulan terhadap dokter di RSI tersebut viral usai diunggah akun Instagram @dinaskegelapan_kotasemarang. Dalam unggahan itu disebutkan, seorang dokter anestesi dipukul hingga bidan ketakutan saat menangani pasien bersalin.
"Katanya orang terhormat, tapi kelakuan justru memalukan! Dokter anestesi dipukul, bidan sampai nangis ketakutan, pintu ditendang sampai bolong," tulis akun @dinaskegelapan_kotasemarang, Senin (8/9).
Akun tersebut juga mengunggah video yang memperdengarkan seorang pria memaki-maki perempuan yang disebut merupakan salah satu nakes di RSI. Pria tersebut pun diungkap identitasnya sebagai dosen Fakultas Hukum Unissula.
"Mengumpat menggunakan kata2 yg tidak patut disampaikan oleh seorang Dosen Fakultas Hukum Unissula spt "bajin%Β©n" dan "a$ $u" .. bahkan saking tidak dapat mengontrol emosinya, dia bahkan teriak akan membakar rumah sakit Sultan Agung yg kita sayangi," tulis akun tersebut.
Dalam satu unggahan diperlihatkan, pintu ruang bersalin bahkan ditendang hingga rusak. Insiden tersebut diduga terjadi lantaran pria terduga pelaku ngotot meminta istri pasien diberikan anestesi penuh agar tidak merasakan sakit.
"Pintu tidak bergerak saja menjadi korban, apalagi dokter yang menjelaskan pada sang arogan," tulisnya lagi.
Kasus ini pun mendapat perhatian dari Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Jawa Tengah. Ketua IDI Jateng, dr. Telogo Wismo, menyampaikan keprihatinannya dan menegaskan siap mendampingi tenaga medis jika kasus ini berlanjut ke ranah hukum.
"Pemukulan, penganiayaan, atau ancaman pada profesi dokter yang sedang melaksanakan tugas itu kan semakin banyak muncul. Termasuk di RSUD Sekayu, Surabaya, dan sekarang di Semarang. Kami sangat-sangat prihatin," kata Telogo saat dihubungi detikJateng.
Ia menyayangkan masih adanya kasus tenaga medis mendapat perlakuan kasar saat menjalankan tugas. Menurutnya, masyarakat seharusnya bisa menahan diri karena datang ke rumah sakit sejatinya untuk meminta pertolongan.
"Kenapa kok yang dimintai tolong malah dianiaya? Pemahaman antara hak dan kewajiban mungkin belum bisa dipahami secara luas," ujarnya.
Telogo menyebut pihaknya telah menugaskan tim bantuan hukum IDI untuk mendalami kasus ini. Meski begitu, ia menekankan bahwa kewenangan awal ada di pihak rumah sakit karena insiden terjadi di lingkungan internal.
"IDI wajib membela anggota agar kejadian semacam ini tidak terulang. Kalau dokter bekerja dengan perasaan was-was, tentu bisa berdampak pada pelayanan. Apalagi kalau melihat videonya, sampai ada tenaga kesehatan yang menjerit-jerit ketakutan," jelasnya.
(apu/afn)











































