Ketua Bidan Pendidikan Profesi Advokat, Sertifikasi, dan Kerjasama DPN PERADI, Prof Firmanto Laksana menawarkan solusi untuk mencegah konflik agraria dalam pembangunan Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara. Hal itu disampaikan saat orasi ilmiah dalam pengukuhannya sebagai guru besar kehormatan Universitas Islam Sultan Agung (Unissula), Semarang.
Orasi ilmiah tersebut berjudul Optimalisasi Pencegahan Konflik Tanah Ulayat di Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara dalam Perspektif Hukum.
"Konflik terhadap tanah ulayat dari masyarakat adat Balik bahkan sudah terjadi sebelum adanya pembangunan IKN," ujarnya saat menyampaikan orasi di Auditorium Unissula, Semarang, Jumat (5/7/2024).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tak hanya sekali, tercatat beberapa kali terjadi konflik di area tersebut sebelum masa pembangunan IKN. Misalnya pada tahun 1968, 1975, dan terakhir pada tahun 2012.
"Konflik tanah ulayat terjadi karena ketidakjelasan luas wilayah tanah ulayat yang diakui oleh Badan Pertanahan Nasional, sedangkan dari pihak Badan Pertanahan Nasional sepanjang 2024 telah menyelesaikan sertifikat tanah di sebagian wilayah Indonesia namun khusus untuk tanah ulayat belum," jelasnya di hadapan para advokat dan guru besar yang memenuhi ruangan.
Karena itu, dalam pembangunan IKN pemerintah harus menjamin agar masyarakat adat tak terpinggirkan. Hal itu juga telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2023 tentang perubahan peraturan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara dijelaskan dalam pasal 16 ayat 3 Pemberian hak pengelolaan kepada Otorita lbu Kota Nusantara dilakukan dengan memperhatikan hak milik dan HAT dalam bentuk lain yang dipegang oleh masyarakat, serta HAT masyarakat adat.
"Tanpa pendekatan yang inklusif dan adil, potensi konflik tanah ulayat bisa menjadi hambatan besar bagi suksesnya pembangunan IKN dan merusak harmoni sosial di Indonesia. Pencegahan konflik ini memerlukan kebijakan yang menghormati hak-hak masyarakat adat dan memastikan bahwa pembangunan tidak mengorbankan kepentingan mereka," jelasnya.
Firman menawarkan beberapa pendekatan yang perlu dilakukan untuk mencegah konflik tersebut. Di antaranya ialah pendekatan pentahelix yang melibatkan pemerintah masyarakat, akademisi, dunia usaha, dan media.
Kemudian penataan regulasi dan perlindungan tanah ulayat. Ketiga, pembentukan tim terpadu yang terdiri dari Otorita IKN, Forkompimda, akademisi, tokoh, masyarakat, dan media massa untuk menyelesaikan konflik tanah ulayat di IKN. Terakhir ialah penataan daerah penyangga IKN.
"Masyarakat adat perlu diberikan ruang dan mekanisme untuk menyampaikan aspirasi serta kekhawatiran mereka secara langsung. Ini dapat dilakukan melalui forum-forum konsultasi, musyawarah adat, dan keterlibatan dalam tim-tim kerja yang fokus pada isu tanah ulayat. Pendekatan partisipatif ini tidak hanya meningkatkan transparansi, tetapi juga memastikan bahwa solusi yang dihasilkan mencerminkan kebutuhan dan kepentingan masyarakat lokal," pungkasnya.
(ncm/ega)