Pendaftaran jalur perseorangan atau independen untuk pilkada di Jawa Tengah sudah ditutup. Dari 35 kabupaten/kota di Jateng, pendaftar jalur independen yang memenuhi syarat hanya ada di 2 daerah.
Pakar politik dari Universitas Diponegoro Nur Hidayat Sardini menilai maju menjadi calon independen dalam pilkada memang tak mudah.
"Pertama, tentu tidak kecil juga untuk memenuhi syarat awal. Dan pengalaman saya di Bawaslu RI dan juga di DKPP, kami beberapa kali menyidangkan ketidakterpenuhan persyaratan calon perseorangan yang itu mereka nilai juga sangat berat," kata Nur saat dihubungi, Selasa (14/5/2024).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Syarat awal yang dimaksud ialah syarat dukungan dengan surat pernyataan dan salinan KTP yang harus diserahkan ke KPU. Para calon minimal harus mendapat dukungan dari 6,5-10% DPT di wilayahnya.
Persyaratan administrasi dalam mengumpulkan bukti dukungan itu juga memakan waktu dan biaya. Selain itu, ongkos kampanye melawan koalisi partai juga akan besar. Selain itu calon independen juga harus memikirkan dukungan partai ketika terpilih.
"Sangat pincang kalau gubernur atau bupati yang relasinya dengan DPRD tidak berimbang itulah yang kemudian melatari misalnya Aceng Fikri di Garut itu disertasi saya, akhirnya dimakzulkan karena dukungan partai politik tidak optimal, di samping ada problem yang menyangkut dinamika politik setempat," kata Ketua Bawaslu periode 2008-2011 itu.
Selain jalur perseorangan, tokoh nonpartai justru umum ditemui bisa maju karena mendapat tiket dari partai politik. Meski sama-sama memiliki biaya, menurutnya rute itu lebih jelas.
"Tapi kalau calon yang diusung melalui partai itu istilahnya rutenya jelas asal diperkenankan masing-masing partai itu akan lancar tapi kan its no free lunch, tidak ada makan siang gratis dalam politik," ujarnya.
"Kalau tiket itu kan eksklusif ya konon kan hasil penelitiannya tergantung pada apakah partai besar, apakah partai menengah tentu saja ukurannya dari jumlah kursi dan jumlah perolehan suara pemilu legislatif yang terakhir. Itu sama besarnya juga kalau calon perseorangan harus memenuhi dukungan tergantung populasi kan, kalau menurut saya sama-sama sulitnya," sambung NHS.
Terlebih, saat ini beberapa partai di Jateng juga membuka penjaringan untuk umum. Meski begitu, dia masih meragukan keseriusan partai dalam melakukan penjaringan.
"Jadi misal calon perseorangan paceklik hanya ada 2 di 2024 ini itu tidak serta merta juga tidak adanya keinginan, kendatipun banyaknya peluang partai politik membuka partisan itu tidak mengikuti logika-logika yang sudah lazim dalam kandidasi soal tiketing dan segala macam, maka harus kita lihat sih," imbuhnya.
Menurutnya, saat ini juga ada kecenderungan pragmatisme dari partai politik. Artinya, partai politik akan memilih calon populer meski bukan berasal dari partainya.
"Di situ lah partai politik pragmatisme mendukung meskipun bukan calonnya yang biasanya itu calon yang populer, bagaimana menentukan calon yang populer? Ya dari survei. Nah akhirnya adalah penumpukan calon di satu dua orang berasal dari beragam partai maju. Itu menurut saya hal kedua yang menurut saya tidak optimalnya partai sebagai sumber kepemimpinan daerah," katanya.
(ahr/dil)