Dusun Mao, Desa Jambeyan, Kecamatan Karanganom, Klaten disebut-sebut sebagai tempat ditemukannya Prasasti Mao tahun 1962. Di sekitar Dusun Mao tidak hanya ditemukan berbagai artefak tetapi terdapat mitos serta legenda yang tak berani dilanggar oleh warganya.
Salah satu mitos tersebut berkaitan larangan menanam pohon pisang jenis apapun. Kepercayaan unik yang terwariskan turun-temurun itu bahkan masih terpelihara sampai kini.
detikJateng mencoba membuktikan soal pantangan menanam pohon pisang dengan berkeliling dusun. Hasilnya, dari gapura masuk dusun ke utara, mengelilingi pinggiran kampung tak satu pun ditemukan pohon pisang.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Di tengah permukiman, di pekarangan rumah warga juga tidak satupun ditemukan pohon pisang. Di area persawahan Dusun Mao, juga sama tidak ada pohon pisang berdiri.
Kondisi itu berbeda dengan Dusun Senden yang berada di utara Dusun Mao atau dusun-dusun lainnya yang dengan mudah ditemukan pohon pisang tumbuh subur. Pantangan warga Dusun Mao menanam pisang ternyata sudah berlangsung sejak lama.
"Iya tidak ada yang berani menanam pohon pisang. Itu sudah sejak lama, sejak leluhur dulu, tahun berapa tidak tahu," kata Sekretaris Desa Jambeyan, Tri Rukun Widodo kepada detikJateng, Minggu (26/11/2023).
Cerita Tentang Roro Amis
Tri Rukun menyampaikan misteri larangan pohon pisang ditanam terkait erat dengan legenda gadis cantik bernama Roro Amis. Konon di dekat Umbul Jolotundo (barat Dusun Mao) terdapat rumah seorang pertapa.
"Ada pertapa punya anak gadis namanya Roro Amis. Saat berenang di umbul dengan teman-temannya dengan gedebok pisang kakinya tertusuk sompil (keong kecil), kemudian hanyut," kata Rukun.
Gedebok pisang, ungkap Rukun, hanyut sampai ke Dusun Mao. Sejak saat itulah warga tidak boleh menanam pohon pisang.
"Sejak saat itu tidak boleh menanam pohon pisang. Ada pisang hanyut tumbuh saja konon pemilik kebun sakit, itu ceritanya," lanjut Rukun.
Boleh Makan Pisang Asal Beli
Satori (55) warga Dusun Mao membenarkan tidak ada warga yang berani menanam pohon pisang. Kepercayaan unik itu sudah berlangsung lama.
"Iya betul (tidak ada yang menanam pisang). Dulu konon ada yang menanam sakit semua sekeluarga, jadi tidak ada yang menanam pisang," tutur Satori dengan bahasa Jawa campuran beberapa waktu lalu.
Menurut Satori, meskipun tidak ada warga yang menanam pisang tetapi warga tidak ada masalah yang makan buah pisang. Hanya saja harus membeli pisang.
"Ya harus beli, kalau beli tidak masalah, yang penting jangan menanam di dusun sini. Kalau ada warga baru, ya dielingke (diingatkan) warga lain," kata Satori.
Warga lain, Parti (55) mengatakan hal serupa bahwa tidak ada warga yang menanam pisang di Dusun Mao. Pernah ada pohon pisang tumbuh sendiri tidak ditanam akhirnya ditebang.
"Ada pisang tukulan (tumbuh sendiri) saja dicacah tidak boleh. Sejak saya kecil tidak ada yang tanam pisang, dari simbah-simbah dulu sudah dilarang," kata Parti kepada detikJateng.
Wagiyem (68) menyampaikan meskipun tidak boleh menanam pohon pisang secara turun-temurun, tidak ada larangan untuk memanfaatkan buah pisang. Saat hajatan, buah pisang boleh digunakan.
"Saat hajatan boleh dengan buah atau pisang, yang tidak boleh cuma menanam pohon pisang di sini. Kalau tanam di sawah tidak apa tapi juga tidak berani," katanya.
Diyakini Dusun Tua
Pegiat cagar budaya Kabupaten Klaten, Hari Wahyudi menyebut Dusun Mao merupakan dusun tua. Bukan saja dari jejak peninggalan tetapi juga disebut dalam prasasti lain.
"Dusun Mao sendiri merupakan dusun tua yang disebut di Prasasti Kurungan yang berangka tahun 885 Masehi. Prasasti tersebut dikeluarkan Raja Mataram kuno, Sri Maharaja Rakai Kayuwangi," terang Hari saat diminta konfirmasi detikJateng.
Dijelaskan Hari, jika menelusuri sejarahnya Dusun Mao diyakininya merupakan Wanua (desa) di bawah Watak (kecamatan). Wataknya adalah Dusun Kwaon di selatan Dusun Mao.
"Mao di wilayah Watak Wka Kwaon (isi prasasti Mao) sehingga sangat singkron karena Mao dan Kwaon berdekatan," pungkas Hari.
Sebelumnya diberitakan, prasasti Mao merupakan salah satu prasasti di masa Mataram kuno abad 8-9 Masehi yang ditemukan di Klaten. Prasasti tersebut masih tersimpan di kantor Balai Pelestarian Kebudayaan (BPK) yang dulunya masih Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Jawa Tengah di Prambanan, Klaten.
Di laman kebudayaan.kemendikbud.go.id, prasasti itu ditulis sebagai Prasasti Abhayananda (Mao). Prasasti tersebut menggunakan aksara dan bahasa Jawa kuno, berbentuk lingga batu pseudo dengan tinggi 54 sentimeter dan diameter 27 sentimeter.
Lokasi penemuan prasasti tersebut dituliskan di Mao, Kabupaten Klaten. Isi prasasti berbunyi, "Selamat tahun Εaka ..... (bulan BhdrawΔ) da ,tanggal 11 (e-daΕa) paro terang. Paningron, Wage Jum'at, ketika istri Ra-Bawan menetapkan perdikan sawah luasnya 4 tampah pemberian Rakai Wka pu Manota dijadikan sawah-perdikan untuk wihara di AbhayΔnanda".
(apu/ams)