Dampak kemarau panjang dirasakan warga di Desa Lampar, Kecamatan Tamansari, Kabupaten Boyolali. Bahkan, di wilayah ini fenomena 'ternak makan ternak' pun terjadi.
"Kondisi kekeringan dampaknya untuk umum sih nggak masalah. Tapi untuk ekonomi memang berat, karena untuk mencukupi air itu harus jual ternak, utang di bank untuk beli air. Sudah jual ternak untuk menghidupi ternak lainnya. Iya, jadi ternak makan ternak," ungkap Kepala Desa Lampar, Edi Susanto di sela-sela menerima bantuan air bersih dari Sat Brimob Polda Jateng, Rabu (27/9/2023).
Kondisi tersebut, jelas Edi, hampir menyeluruh di wilayah Desa Lampar. Hampir setiap keluarga di desa ini memang memiliki ternak sapi dan kambing. Sapi yang dipelihara rata-rata jenis sapi pedaging. Populasi ternak di desa yang berbatasan dengan wilayah Kabupaten Klaten bagian barat itu mencapai seribuan.
"Untuk sapi kan butuh air lebih banyak untuk komboran (minum). Sehari dikombor dua kali, pagi dan sore. Di musim kemarau kayak gini, dijual satu untuk beli pakan dan air," kata Edi.
Menurut dia, di Desa Lampar sumber air sangat sulit. Saat ini hanya ada satu sumur dalam milik perorangan. Namun, sumur dalam itu baru mencukupi kebutuhan sebagian warga Lampar bagian bawah. Untuk wilayah Balai Desa Lampar ke atas, belum.
"Sumber air sangat sulit. Ini ada sumber air, satu sumur dalam milik perorangan. Kedalaman sekitar 190 meter. Itu untuk mencukupi kebutuhan air untuk masyarakat Lampar bagian bawah. Yang di atas belum kebagian. Kita sebagai Kepala Desa bagaimana caranya untuk bisa mencarikan bantuan sumur dalam," imbuh dia.
Sebagian besar masyarakat pun saat ini mencukupi kebutuhan air bersih membeli dari truk tangki swasta. Termasuk dari satu sumur dalam tersebut. Harganya pun bervariasi tergantung jauh dekat jaraknya.
"Harganya Rp 110 ribu sampai Rp 150 ribu per tangki. Rp 150 ribu itu di dukuh paling jauh (atas) di sini, Dukuh Tegalsari," jelas Edi.
Satu tangki air bisa dimanfaatkan warga untuk mencukupi kebutuhan selama sekitar 10 hari. Bahkan ada yang hanya satu minggu saja.
Fenomena jual ternak untuk menghidupi ternak lainnya itu, kata Edi, sudah berlangsung sekitar dua bulan terakhir. Sebelumnya warga masih memiliki tandon air hujan. Karena sudah habis, warga pun harus beli.
"Diharap segera hujan tapi ternyata kemarau panjang. Akhirnya mau tidak mau ya untuk menghidupi yang ini, harus ngilangi yang ini (jual satu ternak untuk menghidupi ternak lainnya). Sapi satu, biasanya yang kecil dulu yang dijual," kata Edi.
Selengkapnya di halaman selanjutnya
(rih/aku)